:
Oleh H. A. Azwar, Sabtu, 9 April 2016 | 22:03 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 362
Jakarta, InfoPublik - Menteri Ketenagakerjaan RI telah menandatangani Permenaker No 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja serta Kegiatan Promotif dan kegiatan preventif kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada tanggal 10 Maret 2016 lalu.
Menurut Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Permenaker ini merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah No 44 tahun 2015 tentang Kematian dan Kecelakaan Kerja.
Semangat dari Permenaker ini adalah sangat baik yaitu memberikan kesempatan kepada pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang mengalami kecacatan untuk tetap bisa bekerja, ujar Timboel, di Jakarta, Sabtu (9/4).
Timboel mengungkapkan bahwa, berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, ada 98 ribu sampai dengan 100 ribu pekerja yang mengalami kecelakaan kerja per tahunnya. Di tahun 2015 ini saja dari 98 ribu pekerja yang mengalami kecelakaan kerja, ada 2.400 pekerja yang tewas dan yang mengalami cacat tetap sekitar 40 persen. “Ini angka yang cukup besar tentunya,” terang Timboel.
Dia menambahkan, membaca keseluruhan isi Permenaker No 10 tahun 2016 ini memang tidak secara otomatis pekerja yang mengalami kecelakan kerja atau penyakit akibat kerja dan mengalami kecacatan untuk bisa mendapatkan Program Kembali Kerja ini (Return to Work) dan bisa bekerja kembali.
Tentunya Rekomendasi Dokter Penasehat menjadi persyaratan bagi pekerja untuk mendapatkan Program Return to Work ini. Dan tentunya kemauan pemberi kerja untuk menandatangani persetujuan mengikuti Program Kembali Kerja ini juga menjadi persyaratan lainnya yang diatur dalam Pasal 5 Permenaker ini.
Ini artinya pekerja yang mengalami kecacatan akibat kecelakan kerja atau penyakit akibat kerja tidak dengan mudah bisa bekerja kembali. Kecenderungan yang terjadi selama ini adalah pemberi kerja akan melakukan PHK kepada pekerja yang mengalami kecacatan akibat kecelakan kerja atau penyakit akibat kerja. Pekerja cacat selalu dinilai tidak produktif lagi, katanya.
Timboel mengingatkan bahwa, paradigma tersebut sangat salah, karena Pasal 153 ayat 1 (j) UU No 13 tahun 2003 menyatakan, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja atau buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Dan mengacu pada Pasal 14 UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disebutkan bahwa perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan atau kualifikasi perusahaan.
Untuk itu memang dibutuhkan peran riil pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan agar pekerja yang mengalami kecacatan karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja dapat bisa bekerja kembali. Tentunya fasilitas pelatihan dalam Program Return to Work ini bisa difasilitasi dengan mudah oleh pemerintah dan BPJS Ketenagkerjaan, papar Timboel.
Ditambahkannya selain proses-proses kuratif, rehabilitatif dan pelatihan dalam program Return to Work ini, pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan juga harus pro aktif secara riil membantu para pekerja yang mengalami kecacatan tersebut.
Terkait kemauan perusahaan untuk menerima pekerja yang mengalami kecacatan tersebut, menurut Timboel, sebenarnya BPJS Ketenagakerjaan mempunyai potensi besar untuk bisa menempatkan para pekerja yang mengalami kecacatan tersebut di perusahaan-perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh BPJS Ketenagakerjaan. Bahwa dana-dana pekerja yang dikelola BPJS Ketenagakerjan diinvestasikan juga di instrumen saham perusahaan perusahaan.
Nah, sebagai pemegang saham di perusahaan-perusahaan tersebut tentunya BPJS Ketenagakerjaan dapat membantu menempatkan para pekerja yang mengalami kecacatan untuk bisa diterima bekerja paska mengikuti pelatihan Program Return to Work, ujarnya.