:
Oleh H. A. Azwar, Kamis, 7 April 2016 | 22:35 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 233
Jakarta, InfoPublik - Setiap lembaga ataupun kementerian diharapkan mampu menyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sebaik mungkin, agar tenaga kerja Indonesia benar-benar dapat meningkat daya saing dan produktivitasnya.
Pasalnya, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia merupakan acuan dalam melakukan pelatihan-pelatihan kerja dan produktivitas kerja nasional.
Untuk menyelesaikan standar kompetensi kerja itu, di bawah koordinasi kementerian teknis masing-masing beserta stakeholder-nya. Kami selalu mendorong, agar standar pelatihan kerja tersebut segera terselesaikan, kata Khairul Anwar, Dirjen Bina Pelatihan dan Produktivitas Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan, pada acara Diskusi Panel Tenaga Kerja Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Jakarta, Kamis (7/4).
Menurut Khairul, kementerian-kementerian teknis tersebut juga bertugas mendorong pelaksanaan serta mengawasi dari implementasi standar pelatihan kerja tersebut. Sehingga, antara perencanaan, pelatihan, hingga lulusan pelatihan dapat sinkron dengan kebutuhan dan perkembangan dunia industri.
Pak Menteri (Ketenagakerjaan) hanya sebatas mengesahkan. Penyusunannya ada di masing-masing teknis, masing-masing kementerian tadi. Harapannya, masing-masing teknis juga mengacu pada SKKNI itu, ujar Khairul.
Dia menjelaskan, SKKNI merupakan satu dari tiga Pilar Pelatihan Kerja Berbasis Kompetensi. Adapun pilar kedua adalah pelatihan berbasis kompetensi. Sedangkan pilar ketiga, adalah sertifikasi kompetensi. Dengan terus mendorong ketiga pilar tersebut, pemerintah yakin dapat meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia.
Jika kompeten, tenaga kerja kita akan produktif. Produktivitas ini yang akan mendorong tingkat daya saing kita dalam dunia internasional, jelas Khairul.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Agustus 2015, jumlah angkatan kerja Indonesia berjumlah 122,38 juta orang. Dimana 114,82 juta orang telah bekerja dan 7,56 juta belum bekerja.
Dari tingkat pendidikan, sekitar 50,38 juta angkatan kerja Indonesia berpendidikan SD ke bawah telah bekerja, dan 1,44 juta belum bekerja.
Untuk tingkat pendidikan Menengah Pertama (SMP/sederajat), 20,7 juta telah bekerja dan 1,37 juta belum bekerja. Tingkat pendidikan menengah atas (SMA/MA/SMK/sederajat) sebanyak 30,36 juta telah bekerja dan 3,38 juta belum bekerja. Sedangkan tingkat pendidikan Diploma/Sarjana ke atas, sebanyak 12,64 juta telah bekerja dan 0,9 juta belum bekerja.
Dari data di atas, hampir separuh (47,1 persen) dari tenaga kerja Indonesia adalah lulusan SD ke bawah. Hal tersebut menempatkan tenaga kerja Indonesia pada posisi yang tidak menguntungkan. Tenaga kerja akan sulit terserap ke dunia kerja tanpa kualifikasi ketrampilan dan keahlian yang cukup.
Kondisi kualitas sumber daya manusia dan ketenagakerjaan yang kurang berkualitas ini tercermin juga dari peringkat Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) yang dikeluarkan oleh UNDP.
Indonesia masih berada di kategori medium, dengan rata-rata pertumbuhan IPM 1,06 persen dan mendapat skor 0,684. Pada tahun 2014, Indonesia masih berada di posisi 110 dunia. Pada tahun yang sama, negara ASEAN lain seperti Singapura, menempati urutan 11 dunia, dengan rata-rata pertumbuhan 1 persen, dan skor 0,912. Singapura pun masuk pada kelompok dengan pertumbuhan very high.
Oleh karenanya, Khairul mengajak segenap elemen masyarakat untuk turut berpatisipasi dalam mendorong pelatihan kerja berbasis kompetensi tersebut. Dengan adanya komitmen bersama, upaya meningkatkan kompetensi dan daya saing nasional akan lebih optimal. “Hal ini dalam rangka menjamin SDM kita, benar-benar menjadi SDM yang kompetitif dan berdaya saing,” pungkas Khairul.