:
Oleh Masfardi, Jumat, 8 April 2016 | 00:02 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 196
Jakarta, InfoPublik - Anggota DPR RI Achmad Mustaqim meminta perlunya penguatan kelembagaan dan memfungsikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai salah satu cara mengatasi munculnya sikap intoleran.
“Kalau tidak diantisipasi, intoleran bisa berdampak kepada ekstremisme. Ini yang tidak kita harapkan,” papar Achmad Mustaqim saat ditemui di ruang kerjanya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (7/4).
Hal itu dikemukakannya menanggapi masih maraknya gerakan intoleran di negeri ini. Seperti diwartakan, awal bulan ini FPI Riau membubarkan diskusi yang digelar HMI lantaran mengundang tokoh Syiah. Lalu pada Sabtu lalu, massa sejumlah ormas menggeruduk acara Lady Fast 2016 di Studio Survive Garage Bantul, DIY karena diduga sebagai ajang kemaksiatan.
Intinya, lanjut Mustakim yang juga anggota Komisi VIII DPR ini, harus ada penguatan kelembagaan FKUB disamping struktur kepemerintahan melalui Kemenag.
Menurutnya, FKUB sebenarnya bisa memiliki peran yang lebih bermanfaat, tetapi butuh pendorong. Pemerintah harus melibatkan di setiap tingkatan strukturnya. “Ini merupakan bagian yang belum disentuh oleh Kemenag agar menjadi program unggulan,” jelasnya.
Ditekankan lagi, ke depan negara melalui Kemenag dengan segenap jajaran hingga tingkat terendah, harus menjadi agent of change dan fokus bisa mengajak pihak lain bagaimana kasus intoleran ini bisa dicegah tangkal melalui dua jalur. Yaitu jalur struktural dan non struktural yaitu lembaga non pemerintah FKUB ini.
Dari pengamatan langsung ke daerah, kata Mustaqim, FKUB hanya muncul di permukaan dan belum menyentuh masyarakat secara langsung sehingga belum ada link and match dengan kasus yang terjadi di akar rumput dengan kehadiaran forum tersebut.
“FKUB masih pada tataran formal legal, sehingga masih terbawa arus kegiatan seremonial saja,” tekannya.
Di Dapilnya, sambung Mustaqim, malah sudah terbentuk FKUB sejak tahun 1997 jauh sebelum ada reformasi, di Kecamatan Majenang, Cilacap, Jateng. Pengurusnya lintas agama, dan salah satu kecamatan yang tidak pernah ada gejolak. Seharusnya ini bisa dijadikan real model, sebab hingga kini belum ada program yang cukup cerdas menangkap kepentingan ini sebagai sumbu penyelesaian intoleran di seluruh daerah di Indonesia.
Sekarang yang penting membaca intoleransi saat ini dan ke depan. Karena kita sepakat negara demokrasi Pancasila dan negara hukum sebagai konstitusi, maka aspek utamanya bagaimana pranata hukum ini bisa melindungi sekaligus mengantisipasi serta melakukan tindakan tegas, tanpa harus merusak sistem kebangsaan yang kita miliki.