Tidak Ada Soal Braille, Sekjen FSGI : Siswa Tunanetra Kesulitan Ikuti UN

:


Oleh Astra Desita, Kamis, 7 April 2016 | 01:45 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 191


Jakarta, InfoPublik - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti mengatakan siswa tuna netra kesulitan dalam mengikuti Ujian Nasional (UN) karena tidak adanya soal braille.

"Soal braille cukup mahal, diperkirakan Rp500.000 per soal. Tapi seharusnya, harga tidak menjadi halangan bagi pemerinta," ujar Retno di Jakarta, Rabu (6/4).

Laporan tersebut kata dia berdasarkan pengaduan yang berasal dari Mataram, Jakarta, Karanganyar, Sidoardjo, dan Makassar ke posko pengaduan UN FSGI.

Retno mengatakan soal dibacakan pengawas, namun peserta tetap merasa kesulitan karena soal-soal yang disertai gambar, simbol, dan grafik tidak bisa dijelaskan si pengawas, sehingga peserta tuna netra dipaksa berimajinasi.

"Hal ini bentuk diskriminasi pemerintah terhadap penyandang disabilitas," tegasnya.

Retno menambahkan dibandingkan 2011-2014 saat UN masih menjadi penentu kelulusan, maka laporan 2015 dan 2016 terbilang menurun drastis dari jumlah laporan atau pengaduan yang masuk.

Pada hari kedua UN, posko menerima 10 laporan yang berasal dari Tasikmalaya, Kupang, Kerawang, Medan, Mataram, Karanganyar, Sidoardjo, Makassar, dan Jakarta.
Jenis laporan yang diterima yakni masalah teknis seperti listrik padam yang berasal dari Tasikmalaya (Jawa Barat) dan Kupang (NTT).

Kemudian "server" tidak bisa terkoneksi ke "server" pusat di salah satu sekolah di Karawang selama tiga jam, sehingga para peserta UNBK sempat panik karena terlalu lama menunggu.

Sementara itu Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia, Aria Indrawati, mengeluhkan kejadian tersebut terus saja berulang setiap tahun.

"Ini kesalahan fatal dari menteri ke menteri, ini diskriminasi terhadap kaum tuna netra," kata Aria.

Menurut Aria belum tentu semua siswa yang mengikuti UN bisa membaca, karena keterbatasan fisik. Siswa tuna netra yang mengikuti UN harus membaca braille bukan cetak.

"Sangat disayangkan, hal ini terjadi disaat Indonesia sudah mengesahkan Undang-undang Disabilitas. Pertuni selalu bicara, tetapi apakah suara kami didengar? Kami akan cek kembali kebenaran hal itu," cetus Aria.

Seharusnya, pihak Kemdikbud harus memberi mandat kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengadaan naskah soal braille. Sehingga kejadian seperti itu tidak berulang.