Organisasi Pekerja Apresiasi Permenaker Baru Tentang THR

:


Oleh H. A. Azwar, Jumat, 1 April 2016 | 09:37 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 691


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permenaker No 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) tanggal 8 Maret 2016 lalu, menggantikan Permenaker No 4 Tahun 1994.

"Secara umum Permenaker yang baru ini tidak jauh beda dengan Permenaker No. 4 tahun 1994," kata Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Jumat (1/4).

Namun, menurut Timboel, ada hal yang lebih baik yang diatur di Permenaker baru ini yaitu masa kerja satu bulan sudah berhak atas THR secara proporsional, dimana sebelumnya pekerja harus bekerja minimal 3 bulan untuk mendapatkan THR secara proporsional.

Jadi, Permenaker baru ini relatif lebih baik bila dibandingkan Permenaker No. 4 /1994.  Bahwa kebutuhan akan THR adalah kebutuhan seluruh pekerja dan oleh karenanya adalah baik bila pekerja dengan masa kerja sebulan pun sudah berhak mendapat THR. Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) mengapresiasi kehadiran Permemaker baru ini.

Timboel, yang juga Kordinator Advokasi BPJS Watch, mengingatkan bahwa, sebenarnya yang menjadi masalah utama pada THR ini adalah tentang kepastian pembayaran THR oleh pemberi kerja. "Faktanya selama ini masih banyak pekerja yang tidak mendapatkan THR ketika menjelang hari raya atau terlambat mendapatkan THR (dibayarkan setelah hari raya)," terangnya.

Oleh karena itu, lanjut Timboel, kepastian pekerja untuk mendapatkan THR adalah sebuah kebutuhan mendesak dan utama bagi kalangan buruh, yaitu adanya penegakan hukum yang riil bagi pengusaha yang tidak patuh pada ketentuan yang ada.

Menurutnya, kalaupun ada sanksi denda 5 persen dan adanya sanksi administratif berupa teguran tertulis, penutupan sebagian usaha, dan pencabutan ijin usaha yang dimuat di Permenaker baru tersebut, namun hal itu  belum menjamin pengusaha menjalankan  kewajbannya membayar THR.

Tentang sanksi teguran tertulis mungkin hal tersebut bisa dengan mudah dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan, tetapi untuk sanksi penutupan sebagian usaha dan pencabutan ijin menurut saya hal tersebut sulit dilakukan karena kedua hal tersebut bukan kewenangan dinas tenaga kerja. Itu adalah kewenangan dinas-dinas lainnya. Bahwa faktanya selama ini koordinasi antar instansi merupakan hal yang sulit dilakukan. Antar instansi mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri.

Oleh sebab itu, Timboel berharap, kedepannya adalah bagaimana pengawas ketenagakerjaan bisa secara pro aktif mendatangi perusahaan-pengusaha untuk memastikan bahwa anggaran THR sudah ada sehingga H minus 7 pekerja bisa mendapatkan THR. “Yang dibutuhkan pekerja adalah kepastian pembayaran THR. Pemerintah jangan pasif seperti saat ini,” pungkas Timboel.