- Oleh Farizzy Adhy Rachman
- Selasa, 26 November 2024 | 22:26 WIB
: praktisi hukum Miko Ginting saat menjadi narasumber edukasi publik
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Jumat, 13 September 2024 | 19:06 WIB - Redaktur: Untung S - 404
Jakarta, InfoPublik – Media sosial kini menjadi ruang baru yang memberikan peluang bagi publik untuk mengasah daya kritis dan berpartisipasi dalam isu hukum dan peradilan. Platform itu tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sebagai tiruan dunia nyata yang mampu menggerakkan massa dan membangkitkan kesadaran hukum masyarakat.
“Dulu, sebelum era media sosial, akses informasi sangat terbatas dan banyak dikendalikan oleh media konvensional yang diatur penguasa. Namun, sekarang media sosial menjadi ruang investasi baru, di mana partisipasi langsung dari masyarakat semakin besar. Publik bisa penasaran, menggali informasi hingga muncul aksi lanjutan,” ujar praktisi hukum Miko Ginting dalam acara edukasi publik "Menyuarakan Peradilan Bersih Lewat Media Sosial", Jumat (13/9/2024) di Bandung, Jawa Barat.
Miko juga mengingatkan bahwa informasi yang tersebar di media sosial tidak selalu dapat dianggap sebagai kebenaran, mengingat kemungkinan manipulasi. Bahkan, informasi viral sekalipun bisa saja telah direkayasa.
“Media sosial memiliki kelemahan. Informasi yang benar belum tentu mendapat perhatian besar, sedangkan informasi yang direkayasa sering kali viral, karena adanya buzzer dan influencer yang menggiring opini. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam memilah kebenaran,” jelas Miko.
Miko menekankan pentingnya kemampuan untuk memilah antara informasi yang murni organik dan informasi yang sudah dikemas dengan agenda tertentu. Dia juga mengingatkan pentingnya tetap kritis dan waspada terhadap potensi hukum yang bisa menjerat di tengah maraknya penyebaran informasi.
"Kontrol terhadap informasi adalah kunci. Pastikan bahwa informasi yang kita yakini dan bagikan adalah kebenaran," tambahnya.
Sekretaris Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Bandung sekaligus pegiat literasi media, Medi Mahendra, turut memberikan pandangannya mengenai fenomena media sosial. Dia menegaskan bahwa perhatian publik di media sosial sangat besar, namun tidak diimbangi dengan literasi yang baik.
“Masyarakat kita sebenarnya tidak rendah dalam minat baca, tetapi budaya literasinya yang masih rendah. Akibatnya, banyak yang mudah terpengaruh oleh informasi yang belum tentu benar. Jika budaya literasi kita lebih baik, maka kita akan lebih siap membela kebenaran dan menjadi penegak hukum yang adil,” jelas Medi saat memberikan materi mengenai etika bermedia sosial dalam konteks penegakan integritas hakim.
Medi juga menekankan pentingnya menjaga etika saat bermedia sosial. Ia menyebut bahwa pengguna media sosial kini cenderung mudah mempercayai tokoh hanya berdasarkan tampilan satu menit video di media sosial. Namun, menurutnya, intelektualitas dan elektabilitas harus tetap menjadi acuan dalam menilai tokoh publik.
“Dalam hidup, kita memang punya pilihan, tapi ingatlah untuk memilih menjadi penegak hukum yang adil,” tutup Medi.