- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Kamis, 21 November 2024 | 19:10 WIB
: Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia telah mencatatkan berbagai langkah penting, jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, seiring dengan perkembangan hukum dan tantangan global, kebutuhan akan revisi UU Tipikor semakin mendesak (Foto: Dok KPK)
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Senin, 2 September 2024 | 18:39 WIB - Redaktur: Untung S - 487
Jakarta, InfoPublik – Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia telah mencatat berbagai langkah penting jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, seiring perkembangan hukum dan tantangan global, kebutuhan untuk merevisi UU Tipikor semakin mendesak.
Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, memiliki kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan internasional tersebut. Sayangnya, UU Tipikor yang berlaku saat ini belum sepenuhnya sejalan dengan UNCAC.
Setidaknya, terdapat empat pasal dalam UNCAC yang belum terakomodasi dalam UU Tipikor. Salah satunya adalah kriminalisasi penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik. Selain itu, kriminalisasi terhadap pemanfaatan pengaruh, memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment), dan penyuapan di sektor swasta juga perlu segera diadopsi untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Perkembangan hukum pidana nasional juga membawa perubahan signifikan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). Beberapa pasal dalam UU Tipikor, seperti delik merugikan keuangan negara, penerimaan dan pemberian suap, serta gratifikasi, telah diintegrasikan ke dalam KUHP Nasional. Namun, pengaturan yang ada masih belum mampu menjangkau esensi delik memperkaya diri secara tidak sah sebagaimana diatur dalam UNCAC.
Selain itu, suap di sektor swasta juga perlu menjadi perhatian. Dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional, pengaturan suap masih berfokus pada pejabat publik, sementara suap di sektor swasta, yang dapat berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional, belum diakomodasi dengan baik.
Pemikiran ini mengemuka dalam forum diskusi bertema "Urgensi Perubahan Kedua atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi" yang diinisiasi oleh KPK di Jakarta. Forum ini dihadiri oleh perwakilan dari Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI, Mahkamah Agung, Kemenkumham, dan pakar hukum.
Menurut keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Senin (2/9/2024), Agustinus Pohan, pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan, menekankan perlunya revisi UU Tipikor karena adanya tumpang tindih antara pasal-pasal di KUHP Nasional dengan pasal-pasal di UU Tipikor. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan yang signifikan dalam ancaman pidana, yang pada akhirnya mempengaruhi kepastian hukum.
Alasan lain adalah terkait pengaturan daluarsa. Dalam KUHP, tindak pidana korupsi tidak mendapatkan keistimewaan atau pengecualian, padahal sering kali kasus korupsi berlindung pada kekuasaan yang menyulitkan penuntutan.
“Daluarsa pada kasus tipikor memerlukan pengaturan yang berbeda, sebagaimana pada pelanggaran HAM berat, di mana masa daluarsa lebih panjang sehingga memungkinkan penuntutan pada saat kekuasaan berubah,” usul Agustinus.
Koordinator Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, I Made Sudarmawan, mendukung revisi UU Tipikor, terutama dalam mengakomodasi delik illicit enrichment yang menjadi fenomena yang semakin sering muncul.
"Kita pernah dihebohkan dengan Panama Papers, bagaimana pejabat publik bisa memiliki rekening masif yang memicu kecurigaan adanya perbuatan memperkaya diri secara tidak sah," jelas Sudarmawan.
Ia juga menegaskan bahwa perubahan UU Tipikor sangat bergantung pada niat regulator untuk melaksanakan pemberantasan korupsi secara konsekuen.
Pakar hukum dari Universitas Diponegoro, Prof. Pujiyono, menawarkan perspektif baru terkait penerapan sanksi pidana, terutama dalam asset recovery. Ia mengusulkan penerapan pendekatan non-conviction-based dalam perampasan aset, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 54 UNCAC.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, berharap forum diskusi ini tidak hanya membahas empat pasal yang akan diusulkan, tetapi juga mengevaluasi pasal-pasal yang sudah ada dari sisi efektivitasnya. Ia juga menekankan pentingnya agar pasal-pasal yang diusulkan dapat diterapkan secara konsisten oleh seluruh penegak hukum.
Forum diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menjelang peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2024, yang akan digelar di sejumlah kota di Indonesia dengan tujuan menguatkan dukungan atas pemberantasan korupsi dan menjangkau aspirasi masyarakat.