Kementerian ESDM Terbitkan Aturan Baru Kontrak Bagi Hasil Migas, Tingkatkan Daya Tarik Investasi

: Foto udara area pengeboran sumur eksplorasi Buah Merah (BMR)-001, Distrik Klasafet, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Senin (10/6/2024). Pengeboran sumur eksplorasi Buah Merah (BMR)-001 yang masuk ke dalam wilayah PT Pertamina EP Papua Field bertujuan membuktikan keberadaan sumber daya migas dari wilayah timur Indonesia sehingga dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan pasokan migas dalam negeri serta mendukung pencapaian target produksi nasional. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/aww/foc.


Oleh Eko Budiono, Rabu, 2 Oktober 2024 | 11:47 WIB - Redaktur: Untung S - 274


Jakarta, InfoPublik – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan regulasi terbaru terkait kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) untuk meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia. Aturan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Hal itu disampaikan oleh Ariana Soemanto, Direktur Pembinaan Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, melalui keterangan resmi pada Selasa (1/10/2024). Ariana menjelaskan bahwa pembaruan aturan ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan kontraktor dan pemerintah, dengan kepastian bagi hasil yang lebih kompetitif.

"Salah satu poin penting dalam peraturan ini adalah kepastian bagi hasil yang diterima kontraktor, yang dapat mencapai 75-95 persen. Sebelumnya, bagi hasil bisa sangat rendah, bahkan mencapai 0 persen, sehingga kami lakukan koreksi," jelas Ariana. Ia juga menambahkan bahwa 15 dari 26 kontraktor kerja sama (KKKS) telah mengajukan insentif atau diskresi karena bagi hasil yang tidak kompetitif.

Aturan gross split terbaru ini juga membuat wilayah kerja migas nonkonvensional lebih menarik, dengan bagi hasil untuk kontraktor bisa mencapai 93-95 persen pada tahap awal. Penerapan ini akan segera dimulai di Wilayah Kerja Gas Metana Batu Bara (WK GMB) Tanjung Enim dan pengembangan Migas Nonkonvensional (MNK) Rokan.

Menurut Ariana, parameter yang menentukan besaran bagi hasil untuk kontraktor disederhanakan dari 13 menjadi 5 parameter, yaitu:

  1. Jumlah cadangan,
  2. Lokasi lapangan,
  3. Ketersediaan infrastruktur,
  4. Harga minyak bumi, dan
  5. Harga gas bumi.

Ariana menjelaskan bahwa nilai parameter ditentukan berdasarkan studi statistik data lima tahun terakhir, termasuk jumlah cadangan Rencana Pengembangan (POD) seluruh lapangan, lokasi dan kedalaman lapangan, serta harga rata-rata Indonesian Crude Price (ICP), LNG Platts, dan gas domestik.

"Setelah evaluasi lima tahun, data cadangan dan POD yang sudah kami kumpulkan menunjukkan hasil yang empiris. Data tersebut digunakan untuk menentukan nilai parameter dalam kebijakan baru ini," tambahnya.

Regulasi ini juga mengatur total bagi hasil yang lebih kompetitif, dengan nilai bagi hasil sebelum pajak untuk KKKS migas konvensional dalam rentang 75-95 persen, yang ditentukan melalui studi efektif royalti, akses terhadap pendapatan bruto, dan insentif.

Selain itu, aturan ini juga mengatur eksklusivitas migas nonkonvensional (MNK), dengan nilai bagi hasil sebelum pajak sebesar 93 persen untuk minyak dan 95 persen untuk gas.

Peraturan ini juga memberikan pengaturan terkait perubahan bentuk kontrak bagi hasil, dari PSC cost recovery ke gross split, ataupun sebaliknya, dengan ketentuan peralihan untuk kontrak yang sudah ditandatangani sebelumnya.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Eko Budiono
  • Senin, 7 Oktober 2024 | 14:07 WIB
Kementerian ESDM Terapkan Wajib Laporkan SMK2 Setiap Tahun
  • Oleh MC KOTA TIDORE
  • Rabu, 2 Oktober 2024 | 12:54 WIB
Erupsi Gunung Ibu Terjadi 6 Kali, Kolom Abu Capai 700 Meter
  • Oleh Eko Budiono
  • Minggu, 22 September 2024 | 16:12 WIB
Optimalkan Produksi Migas, ESDM Lakukan Tiga Kerja Sama Teknologi