:
Oleh Wawan Budiyanto, Selasa, 28 Maret 2017 | 20:25 WIB - Redaktur: Juli - 427
Jakarta, InfoPublik - Industri mebel nasional memiliki potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembang karena didukung dengan sumber bahan baku melimpah dan perajin yang terampil.
Untuk itu, pemerintah memprioritaskan pengembangan sektor padat karya berorientasi ekspor ini agar semakin produktif, dan berdaya saing melalui kebijakan-kebijakan strategis dengan mengurangi sejumlah hambatan yang ada.
"Pemerintah berupaya untuk mengurangi berbagai hambatan yang selama ini dihadapi pelaku usaha mebel nasional dalam proses produksi, pemasaran, maupun ekspor," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam siaran resminya Selasa (28/3) di sela kegiatan Global Manufacturing and Industrialisation Summit (GMIS) 2017 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Dijelaskan Airlangga hambatan yang ada salah satunya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan dokumen V-Legal yang sudah diberlakukan wajib bagi industri furnitur yang pada dasarnya belum memberikan manfaat khususnya terkait keberterimaan dokumen V-Legal di negara tujuan ekspor.
Saat ini, baru Uni Eropa yang sudah memiliki kerangka kerja sama Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA), sedangkan kebijakan ini berlaku ke seluruh negara tujuan ekspor.
Dalam upaya mengatasi hal tersebut Airlangga menegaskan perlunya koordinasi dengan pemerintah Uni Eropa (G to G) untuk menghilangkan kendala teknis yang menghambat produk Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa.
"Sehingga produk furnitur Indonesia dapat privilege masuk ke pasar Uni Eropa melalui Greenline dan melakukan negosiasi dengan negara tujuan ekspor lainnya untuk meningkatkan keberterimaan SVLK," ujarnya.
Atau cara lain tambah Airlangga, adalah dengan mengeluarkan atau mengecualikan produk furnitur dan kerajinan kayu dari kewajiban SVLK. "Makanya, SVLK diminta untuk disederhanakan dan bisa dikomunikasikan kepada seluruh konsumen," kata Airlangga.
Pihaknya mengusulkan agar perusahaan yang sudah mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) tidak perlu rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan impor kayu karena akan menghambat jalannya proses produksi.
"Saat ini, banyak sekali bahan baku kayu yang harus diimpor oleh pelaku industri furnitur, seperti kayu oak dan poplar. Jenis-jenis kayu tersebut tidak tersedia di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan, perlu dilakukan impor," sebutnya.
Ia mengungkapkan, hambatan lainnya, yaitu selama ini impor barang contoh (sampel) furnitur masih harus melalui proses karantina oleh Kementerian Pertanian. Padahal produk furnitur merupakan produk olahan, di mana sebelum diimpor sudah melalui proses fumigasi di negara asalnya sehingga bebas hama penyakit.
"Proses karantina sampel furnitur yang memakan waktu mengakibatkan tertundanya proses produksi furnitur. Menperin menyarankan agar sampel furnitur tidak lagi harus melalui proses karantina,: jelasnya.
Pemerintah juga telah menyiapkan fasilitas pajak seperti tax allowance bagi pelaku usaha furnitur di Indonesia agar produk furnitur Indonesia semakin bersaing.
"Industri furnitur merupakan salah satu sektor yang dapat memanfaatkan kebijakan pemotongan pajak penghasilan dan penundaan pembayaran pajak penghasilan," paparnya.
Insentif ini diberikan dengan tujuan mempermudah cash flow perusahaan dan mengurangi beban biaya tenaga kerja. "Kalau mereka minta, kami bisa memberikan rekomendasi. Sudah ada lima perusahaan yang mendapatkan," pungkasnya.