YLKI Sampaikan Kritik Soal Aturan Taksi Online

:


Oleh Dian Thenniarti, Jumat, 24 Maret 2017 | 08:32 WIB - Redaktur: Juli - 362


Jakarta, InfoPublik - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyampaikan beberapa catatan kritisnya terkait aturan baru transportasi berbasis aplikasi, taksi online yang akan diterapkan Kementerian Perhubungan mulai April 2017.

Dalam konteks perlindungan konsumen, dan sistem transportasi yang berkelanjutan, YLKI menyatakan hal tersebut dapat dipahami namun ada beberapa catatan yang menurut YLKI harus menjadi perhatian penting. 

Menurut YLKI, prinsip dasar dalam bertransportasi adalah keselamatan, aksesibilitas, keterjangkauan, terintegrasi, kenyamanan dan keberlanjutan. YLKI menilai bahwa sejauh ini taksi berbasis aplikasi baru menjawab terhadap satu poin saja, yakni aksesibilitas. Konsumen dengan (relatif) mudah mendapatkan taksi online daripada taksi konvensional.

Sementara dari aspek yang lain, YLKI menganggap taksi online belum mampu menjawab kebutuhan dan perlindungan pada konsumen yang sebenarnya, misalnya belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, baik untuk armada dan sopirnya.

"Tarif taksi online juga tidak bisa dibilang murah, bahkan bisa lebih mahal daripada taksi konvensional. Sebab taksi online memberlakukan tarif berdasarkan jam sibuk (rush hour) dan non rush hour," kata Ketua YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Kamis (23/3).

Tulus melanjutkan, pada rush hour tarif taksi online jauh lebih mahal apalagi dalam kondisi hujan. Jadi menurutnya, untuk diberlakukan tarif bawah taksi online secara praktis tidaklah kesulitan karena selama ini secara tidak langsung justru sudah menerapkan tarif batas bawah dan batas atas.

YLKI mengungkapkan, justru yang harus disorot adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi tarif batas atas dan batas bawah tersebut. Aparat penegak hukum akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran.

Catatan lainnya dari YLKI adalah bahwa taksi online dianggap belum juga memberikan perlindungan kepada konsumennya jika terjadi kehilangan barang atau terjadi kecelakaan. Bahkan jika terjadi sengketa perdata dengan konsumen akan diselesaikan via abritase di Singapura. "Ini jelas tidak adil dan tidak masuk akal bahkan merugikan konsumen," ujar Tulus.

Selain itu, operator taksi online juga belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi konsumennya. Bahkan dalam term of contract-nya, mereka akan menjadikan data pribadi konsumen untuk dishare ke mitra bisnisnya, misalnya untuk obyek promosi.

Oleh karena itu menurutnya, Kemenhub dalam revisinya Permenhub No 32/2013 seharusnya mengatur poin-poin tersebut. Bukan hanya mengatur soal uji kir, proses balik nama STNK, atau bahkan tarif.

Hal lainnya dalam konteks persaingan usaha, tidak boleh ada operator/pelaku usaha yang menerapkan kebijakan predatory tarif. Sebab predatory tarif akan membunuh operator yang lain sehingga mematikan operasi operator lainnya. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan intervensi jika ada operator yang menerapkan predatory tarif.

YLKI juga minta operator taksi konvensional untuk meningkatkan pelayanannya, misalnya kemudahan mengakses bagi konsumen semudah taksi online. "Jika perlu Kemenhub juga mengaudit tarif taksi konvensional, harus dibebaskan dari unsur inefisiensi. Sehingga konsumen tidak menanggung tarif/ongkos kemahalan karena ada unsur inefisiensi dalam tarif taksi konvensional," kata Tulus.

Secara umum, YLKI menganggap revisi Permenhub No. 32/2013 terlalu permisif dan kompromistis, misalnya soal akomodasi pembolehan terhadap mobil LCGC sebagai taksi. Padahal mobil LCGC hanya 1.000 CC seharusnya tidak laik untuk angkutan umum karena tidak aman (safety). Uji kir juga cukup dengan stiker tidak harus diketok di mesinnya. 

"Keberadaan taksi online tidak mungkin dilarang, tapi juga tidak mungkin dibiarkan beroperasi tanpa adanya regulasi," pungkas Tulus.