Indonesia Dukung Penguatan Jaringan Negosiator Perempuan

:


Oleh Eko Budiono, Kamis, 24 Desember 2020 | 18:02 WIB - Redaktur: Untung S - 535


Jakarta, InfoPublik - Indonesia memberikan dukungan terhadap penguatan jaringan negosiator, dan mediator perempuan di Asia Tenggara (SEANWPNM), agar terlibat aktif dalam perundingan perdamaian di kawasan.

Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi pernyataan tertulisnya,  Kamis (24/12/2020).

SEANWPNM adalah jaringan negosiator dan mediator perempuan di Asia Tenggara yang pembentukannya diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia pada 2019.

Walaupun demikian, anggota SEANWPNM tidak mewakili pemerintah atau negara. Mereka bergabung mewakili individu.

"Perempuan harus diberikan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam proses perdamaian," kata Retno kepada enam anggota komite yang berasal dari Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Timor Leste, dan Thailand.

Retno menyampaikan harapan agar SEANWPNM dapat memperkuat serta melengkapi berbagai inisiatif dan mekanisme terkait isu Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS), yang ada di Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN).

Retno menyampaikan harapan agar SEANWPNM dapat memperkuat serta melengkapi berbagai inisiatif dan mekanisme terkait isu Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS), yang ada di Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN).

Retno tahun lalu menyampaikan keinginannya membentuk jaringan negosiator perempuan di Asia Tenggara.

Komitmen itu ia sampaikan pada pertemuan Aliansi Global Mediator Perempuan yang berlangsung di sela-sela Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-74 di New York, Amerika Serikat.

Berdirinya SEANWPNM pun menjadikan Asia Tenggara sebagai pelopor jaringan juru runding perempuan di Asia. Jaringan itu pun menambah daftar jejaring juru runding perempuan lainnya yang telah terbentuk di wilayah Afrika, Arab, negara-negara persemakmuran Inggris, Skandinavia, dan Mediterania.

Data terbaru Council on Foreign Relations (CFR) menunjukkan keterlibatan perempuan sebagai penengah dan juru runding masih tertinggal jauh dari laki-laki.

Lembaga kajian nonprofit itu menunjukkan keterlibatan perempuan pada perundingan damai di Afghanistan hanya mencapai 10 persen, sementara di Libya sebanyak 20 persen. Bahkan, tidak ada perempuan yang terlibat dalam perundingan damai di Yaman, kata CFR lewat laporannya.

CFR merupakan lembaga kajian yang berkedudukan di Amerika Serikat dan telah berdiri sejak 1921.

Terkait itu, Retno berharap SEANWPNM dapat memberi warna baru dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan di kawasan, yang salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan budaya demi menghindari aksi saling menyalahkan (finger pointing) pada tiap perundingan.

Pendekatan itu, menurut Retno, merupakan salah satu cara menyentuh akar permasalahan konflik sehingga perdamaian dapat terpelihara. (Foto: Kemlu)