:
Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Senin, 10 Oktober 2022 | 18:43 WIB - Redaktur: Untung S - 3K
Jakarta, InfoPublik - Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut, aparat kepolisian melepaskan 11 tembakan gas air mata (cloroacetophenone-CN) usai laga Arema melawan Persebaya di Stadiun Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober lalu. Sebanyak tujuh kali tembakan di antaranya diarahkan ke tribun selatan Stadion Kanjuruhan. Tembakan gas air mata itu berakibat tragis. Sebanyak 131 penonton meninggal.
"Jumlah total korban 678 orang, terdiri dari korban meninggal dunia 131 orang, jumlah korban luka 547 orang," kata ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Polri Irjen Dedi Prasetyo, Jumat (7/10/2022).
Penggunaan gas air mata menjadi awal perkara. FIFA pun melarang penggunaan gas air mata dalam pertandingan bola. Aturan FIFA itu tertuang dalam Pasal 19 Nomor b tentang Pitchside stewards, yang berbunyi “No fi rearms or “crowd control gas” shall be carried or used” (Tidak boleh membawa atau menggunakan senjata api atau 'gas pengendali massa').
Polisi mengaku tak tahu ada aturan itu. Kata Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Masyarakat (Humas) Polri Irjen Dedi Prasetyo para anggota Polri itu tidak tahu lantaran tidak diberitahu oleh safety and security officer. "Anggota kan enggak tahu toh tentang aturan itu, karena tidak disampaikan oleh safety and security officer dan dilarang," ujar Dedi.
Safety dan security officer, kata Dedi, adalah sosok yang bertanggung jawab di lapangan. Menurut Dedi, jika pelarangan itu diberitahu sejak awal, maka tragedi Kanjuruhan pasti tidak akan terjadi.
Padahal polisi pasti tahu akan bahaya gas air mata ini. Hampir setiap ada demonstrasi besar, mereka pasti mempersiapkan gas air mata. Gas air mata ini sangat berbahaya bagi yang menghirupnya. Gas yang terhirup pernapasan akan memunculkan reaksi terbakar di seluruh pernapasan. Untuk itu, penggunaannya diatur dalam sebuah regulasi agar tidak menimbulkan korban.
Muasal Penggunaan Gas Air Mata
Gas air mata memang beberapa kali ampuh digunakan untuk membubarkan massa. Namun, penggunaannya tak bisa serampangan. Ada dua jenis gas air mata yang biasa digunakan aparat keamanan. Gas air mata biasa (cloroacetophenone-CN) dan Gas air mata super (o-clorobenzylidenemalonononitrile-CS). Dua jenis gas air mata ini punya efek yang berbeda. CN berbau harum, bisa menimbulkan iritasi mata, kulit, dan saluran pernapasan dalam beberapa menit.
Gas air mata ini awalnya digunakan dalam peperangan. CN pertama kali digunakan pada perang dunia I (1914-1918). Jermanlah yang mulanya mengembangkan senjata kimia ini dengan menempatkan tabung gas air mata berukuran kecil pada peluru senjata api.
Pada 1915, Jerman mengembangkan lagi menggunakan bahan xylyl bromide yang lebih mematikan. Hasil pengembangan itu digunakan untuk menyerang pasukan Rusia di Front Timur.
Mengutip vox.com, pada 1928, dua ilmuwan Amerika: Ben Corson dan Roger Stoughton menemukan CS. (C dan S dalam "CS" berasal dari inisial pertama dari nama belakang kedua ilmuwan itu). Efek CS lebih dahsyat dibandng CN. Ia bisa juga menyebabkan mual.
Dalam banyak hal, gas air mata memang cukup ampuh membubarkan massa. Ia dianggap bukan senjata yang mematikan karena hanya punya efek sementara.
Namun di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober lalu, akibat semprotan gas air mata itu suporter mengalami sesak napas dan lari kocar-kacir. Mereka berebut keluar. Namun karena pintu keluar sedikit, mereka terhimpit dan terinjak. Ratusan nyawa pun melayang. (*)
(Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam (1/10/2022). Polda Jatim mencatat jumlah korban jiwa dalam kerusuhan tersebut sementara sebanyak 127 orang. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/foc.)