Menteri Erick Thohir: Kita Belajar dari Sejarah Perjuangan Tjoet Nja' Dhien

:


Oleh Ahmed Kurnia, Minggu, 23 Mei 2021 | 18:19 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 2K


Jakarta, InfoPublik – 'Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah', begitu penggalan pidato yang disampaikan Bung Karno pada 17 Agustus 1966 silam. Tampaknya itulah pesan yang tersirat dan tersurat dalan film Tjoet Nja’ Dhien yang pernah meraih delapan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 1988 –  salah satunya sebagai Film Terbaik ketika itu.

“Ini salah satu cara untuk kita menghargai karya anak bangsa dan juga mengingat sejarah perjuangan para pahlawan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang cinta atas karya seninya," ujar Menteri BUMN Erick Thohir usai menonton film itu di Plaza Senayan, Jakarta, Kamis (20/5/2021).

Menteri Erick menyampaikan apresiasi kreativitas sineas Indonesia yang pada tahun 1980-an sudah membuat film kolosal yang memiliki nilai seni yang tinggi. “Hari ini kita melihat bahwa pada tahun 1986, (sineas Indonesia) sudah bisa membuat karya sebagus itu,’’ tambah Menteri Erick memuji karya sutradara Eros Djarot dan Christine Hakim sebagai pemeran Tjoet Nja’ Dhien.

Tak heran kalau film ini kemudian diikutsertakan dalam Festival Film di Cannes, Perancis pada 1989 dan menjadi film pertama karya anak bangsa yang ditayangkan di festival film paling bergengsi di daratan Eropa.

Film ini juga sempat didaftarkan untuk dilombakan di ajang Academy Awards ke-62 tahun 1990 – atau yang lebih dikenal ajang Piala Oscar - untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.

Menteri Erick mengingatkan semangat dari film Tjoet Nja’ Dhien dapat dijadikan sebagai pemecut semangat agar Bangsa Indonesia bisa keluar dari situasi pandemi seperti saat ini. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarahnya. Hari ini kita belajar (dari film itu) bahwa kita harus gotong royong dan terus berjuang Bersama untuk keluar dari pandemi," ujar Erick.

Film epos kepahlawanan itu kembali diputar ulang di beberapa bioskop di Jakarta sejak 20 Mei 2021. Dipilihnya tanggal 20 Mei itu bertepatan dengan Hari kebangkitan Nasional sebagai momentum untuk mengajak generasi muda mengenal sejarah, mengenal kepahlawanan, dan mengenal proses sebuah perjuangan.

Sebelum diputar ulang, film Tjoet Nja’ Dhien sempat direstorasi di Belanda – sehingga menghasilkan gambar dan suara yang lebih jernih.

Seberapa penting film ini untuk generasi muda saat ini? Seberapa dekat pesan yang disampaikan melalui film ini masih relevan? “Jawabannya, antara lain, agar generasi milenial memahami sejarah. Dengan mengenal sejarah kita sendiri, selain akan membuat tahu siapa kita, generasi milenial sekaligus dapat menjelaskan kepada dunia, siapa kita sebenarnya," kata Eros – sang sutradara.

Dengan kata lain, Eros ingin menyampaikan pesan bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa Petarung. Di era globalisasi yang penuh disrupsi ini ia ingin mengajak generasi muda untuk lebih mengenal jatidiri bangsa – melalui perjuangan gigih Tjoet Nja’ Dhien dan warga Aceh dalam menghadapi penjajah Belanda - sebagai sebagai fondasi untuk menghadapi persaingan global.

Film yang diputar ulang setelah 33 tahun berselang ini menceritakan tentang perjuangan Tjoet Nja’ Dhien, seorang wanita asal Aceh dalam memimpin perlawanan terhadap Penjajah Belanda. Ia dan teman-teman seperjuangannya dengan gigih melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh di kala masa penjajahan Negeri Kincir Angin itu di zaman Hindia Belanda.

Perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda. Pesan yang disampaikan dalam film ini terasa masih sangat relevan dengan kondisi kebangsaan saat ini. Ia bercerita tentang kemanusiaan, tentang kesetiaan dan pengkhianatan, dan yang lebih penting lagi adalah mengenai perjuangan dan pengorbanan untuk menegakkan kedaulatan bangsa.

Perjuangan Tjoet Nja’ Dhien, yang dikenal keras pendiriannya dan tak kenal menyerah, untuk terus berperang melawan penjajah, harus kehilangan suaminya, Teuku Umar yang gugur dalam perang. Teuku Umar terbunuh dalam pertempuran ketika Belanda melancarkan serangan mendadak di Meulaboh.

Ketika itu Tjoet Gambang (anak Teuku Umar dan Tjut Nya’ Dhien) menangisi kematian ayahnya. Tjoet Nja’ kemudian menampar Tjoet Gambang dan kemudian memeluknya. “Sebagai wanita Aceh, kita tidak akan meneteskan air mata bagi mereka yang telah mati syahid," katanya.

Sepeninggal Teuku Umar, Tjoet  Nja’ tidak pernah surut dalam memimpin pasukan Aceh melawan tentara Belanda. Hingga pada 1901 pasukan kecil Tjoet Nja’ semakin terdesak dan terkurung oleh pasukan Belanda.

Akhirnya Tjoet Nja’ Dhien tertangkap Belanda karena dikhianati oleh seorang kepercayaannya dan teman setianya, Pang Laot. Ketika itu Pang Laot merasa iba pada kondisi kesehatan Tjoet Nja' Dhien yang menderita rabun mata dan reumatik, ditambah penderitaan berkepanjangan yang dialami para pejuang Aceh dan keluarganya.

Faktor kekalahan pasukan Tjoet Nja’ selain karena usia dan kondisi kesehatannya yang terus menurun – juga jumlah pasukan yang terus berkurang dan dukungan logistik yang diputus mata rantainya oleh pasukan Belanda.

Melihat kondisi Tjoet Nja’ yang semakin memperihatinkan, membuat Pang Laot ragu atas daya tahan fisik perempuan yang semakin renta dan sakit-sakitan itu. Ia mengalami dilematis dan iba akhirnya membuat Pang laot terpaksa memberitahu Belanda lokasi markas Toet Nja’ di Beutong La Sageu dengan syarat: kalau Tjoet Nja’ tertangkap, tentara Belanda harus memperlakukan perempuan itu dengan terhormat dan merawat hingga penyakitnya sembuh. Selain itu tidak boleh memisahkan Tjoet Nja’ dari masyarakat Aceh. Belanda pun sepakat dengan permintaan Pang Laot.

Namun tidak semua permintaan Pang Laot dipenuhi Belanda. Tentara penjajah itu ingkar janji. Setelah tertangkap, Tjoet Nja’ dibawa ke Sumedang, Jawa Barat – tidak jauh dari Kota Bandung. Kharisma Tjoet Nja’ dikhawatirkan dapat memobilisasi kembali perlawanan warga Aceh. Itu sebabnya Tjoet Nja’ pada tahun 1906 diasingkan dan dipisahkan dari warga Aceh.

Tjoet Nja’ Dhien wafat pada 6 November 1908. Ia dimakamkan di kaki sebuah bukit yang bernama Gunung Puyuh.

Menurut Eros Djarot, 71 tahun, film kolosal ini bukan sekedar menjadi sebuah film yang menceritakan perjuangan Bangsa Aceh. Tapi  juga sekaligus ingin menyampaikan kepada penonton masa kini bahwa di film itu banyak persoalan yang masih relevan dan sangat terkait dengan problem saat kini. Ini film yang bercerita tentang kesetiaan dan pengkhianatan, pengorbanan dan perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa.

Akhirnya terngiang kembali kata yang bernas dari Bung Karno: 'Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah'. Tjoet Nja’ Dhien meninggalkan jejak kepahlawanan seorang perempuan Aceh. Kita belajar dari perjuangannya.

 

Ilustrasi Foto: Poster film Tjoet Nja’ Dhien