Pandemi dan Kehidupan Demokrasi

:


Oleh Ahmed Kurnia, Rabu, 10 Februari 2021 | 14:07 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 3K


Jakarta, InfoPublik – Dampak pandemi tidak saja di bidang kehidupan warga di bidang sosial dan ekonomi. Tetapi juga eksesnya juga memberikan persoalan serius di bidang politik, termasuk proses demokratisasi. Majalah bergengsi dari Inggris The Economist melalui sayap usahanya Economist Intelligence Unit (EIU) awal Februari 2021 lalu mengeluarkan Indeks Demokrasi secara global (3/2). Menurut EIU, pandemi Covid-19 memberikan dampak negatif terhadap indeks dan kualitas demokrasi di hampir semua negara di dunia.

Rerata indeks demokrasi di negara-negara di dunia turun. Secara global, indeks demokrasi dunia melorot ke angka 5,37 dari indeks sebelumnya 4,44. Lebih jauh EIU memaparkan bahwa pandemi membuat kehidupan kebebasan sipil menjadi terbatas. Ini belum lagi di tambah dengan tren maraknya intoleransi dan sensor terhadap perbedaan pendapat. Itu terjadi di hampir semua negara di dunia.

Dari 167 negara yang diteliti EIU, tercatat 116 negara mengalami penurunan skor indeks demokrasi. Hanya ada 38 negara yang membaik, sedangkan sisanya 13 negara, mengalami stagnasi dalam kehidupan demokrasinya.

Di berapa negara, termasuk negara kampiun demokrasi seperti di Eropa Barat dan Amerika Utara, menurut EIU, pandemi bahkan dijadikan alasan untuk membungkam oposisi. Sementara kajian itu juga melihat bahwa: apa boleh buat demokrasi harus dikorbankan demi untuk mengatasi pandemi yang telah menelan korban jutaan jiwa. Dalam situasi yang tak menentu, memerlukan adaptasi kebiasaan baru – mengingat tak jelas pandemi ini kapan akan berakhir – terkadang memerlukan sebuah tindakan tegas, terkadang keras, bahkan mungkin diterjemahkan sebagai tindakan otoriter untuk mengendalikan pandemi.

Tak heran di beberapa negara dilanda gelombang unjuk rasa. Sebut saja di antaranya Amerika Serikat, Bulgaria, Tongo, Israel, Belanda dan masih banyak lagi. Aksi para pengunjuk rasa – yang berujung rusuh – karena tidak puas dengan penanganan pemerintahnya dalam mengatasi pandemi. Publik di berbagai negara itu frustasi dengan upaya penanggulangan pandemi, di antaranya pemberlakuan lock down (karantina wilayah), kebijakan jam malam yang berdampak terjadinya pembatasan kegiatan sosial dan ekonomi, dan sebagainya.

Memang untuk mengatasi pandemi dibutuhkan upaya kondolidasi dan sentralisasi otoritas yang terkadang menabrak batas-batas norma demokrasi.

Berdasarkan data Worldometers, Senin (8/2/2021), ada 221 negara yang saat ini mencatatkan kasus konfirmasi Covid-19, dengan total 106.661.160 kasus di seluruh dunia. Dari jumlah itu, 78.350.095 orang sembuh dan 2.326.616 orang meninggal dunia.

Demokrasi di Indonesia

Laporan EIU juga mencatat bahwa Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2020 mengalami penurunan. Skor Indonesia pada indeks itu tercatat 6,30 dari skala 1-10 – semakin tinggi skor, makin baik kehidupan demokrasi sebuah negara. Indonesia menempati urutan ke-64 dari 167 negara yang dikaji oleh EIU. Kualitas demokrasi Indonesia – setidaknya di Kawasan Asia Tenggara – masih lebih baik dari Malaysia ( dengan skor 7,19), Timor Leste (7,06), dan Filipina (6,56)

Catatan skor 6,30 tahun 2020 merupakan terendah untuk Indonesia sepanjang 14 tahun atau sejak indeks ini disusun pertamakali oleh EIU pada tahun 2006. Tahun sebelumnya, 2019, indeks demokrasi Indonesia masih tercatat 6,48. Dengan skor 6,30 ini menurut EIU, Indonesia tergolong negara flawed democracy (demokrasi yang cacat atau tidak sempurna).

Ada lima variabel dalam menghitung indeks demokrasi model EIU. Lima variabel tersebut adalah: penyelenggaraan pemilu dan pluralism, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Dari lima variabel tersebut, penurunan yang signifikan yang dialami Indonesia pada indikator budaya politik yang hanya memperoleh skor 4,38 – menurun jauh dari capaian tahun 2019.

Ada pendapat menarik dari Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya Prof. Dr. Ramlan Surbakti seperti yang disampaikan di harian Kompas (4/2). Ia melihat bahwa indeks demokrasi di Indonesia ada benang merah dengan kehidupan partai politik. Menurutnya, selama partai politik tidak dibenahi akan berdampak pada empat hal, yaitu memburuknya budaya politik, partisipasi politik, proses elektoral, dan kebebasan sipil.  

Sebelumnya, Wijayanto dan Fajar Nursahid (peneliti dari LP3ES) tampaknya juga sudah melihat bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia memang mengalami persoalan. Ia melihat bahwa masalah demokrasi di Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu, rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media dan kebebasan berkumpul, dan berserikat, serta masalah masalah intoleransi terhadap kelompok minoritas (kolom opini “Masalah-Masalah Demokrasi Kita Hari Ini” di media detik.com, 3/8/2019).

"Kalau ingin demokrasi sehat, kita harus menyembuhkan parpol, sebab parpol lah yang bertanggung jawab mengkader para pemimpin bangsa, maka parpol harus melakukan kaderisasi yang tidak hanya pemilu saja," kata Wijayanto dalam sebuah diskusi di Jakarta yang dikutip oleh Gatra.com (1/8/2019).

Betul, bahwa kehidupan demokrasi tidak melulu harus dipikul oleh pemerintah atau eksekutif. Kualitas demokrasi juga merupakan tanggungjawab dari para pemangku kepentingan lainnya. Sebut saja partai politik yang justru harus menjadi ujung tombak dalam kehidupan demokrasi. Hal ini karena partai politik memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai sarana pendidikan politik, artikulasi politik, komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi politik, dan rekrutmen.

Sudah saatnya partai politik melakukan tranformasi secara internal dalam keorganisasiannya. Perlunya sebuah mekanisme kaderisasi yang dapat menjaring tokoh-tokoh bangsa. Bukankah kader-kader pemimpin bangsa seharusnya datang dari partai politik?

Organisasi sipil masyarakat juga diharapkan ikut memerangi radikalisme dan intoleransi - khususnya terhadap kelompok minoritas. Jangan lagi ada pembiaran terhadap praktik-praktik yang menjadi bibit tumbuhnya radikalisme dan intoleransi dalam masyarakat. 

Kita berharap – setelah proses vaksinasi berjalan sukses – pandemi akan segera berakhir. Mudah-mudah untuk indeks demokrasi di Indonesia – dan juga negara-negara lain di dunia – akan membaik. Kita tunggu bahwa indeks demokrasi yang dikeluarkan EIU tahun 2021 mendatang akan memberikan rapor lebih bagus, untuk menunjukkan bahwa capaian dan kualitas demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik.  

Keterangan Foto: Presiden Jokowi ketika membuka Bali Democarcy Forum beberapa tahun silam di Bali/Antara Foto/Nyoman Budiana