Pemikiran Besar KH Hasyim Muzadi: Radikalisme Bukan Watak Asli Indonesia

:


Oleh Berry, Kamis, 1 Desember 2016 | 16:59 WIB - Redaktur: Admin - 1K


Agama Hadir untuk Kesejahteraan Negara, Bukan Sebaliknya. Sehingga, Kesombongan Mayoritas Harus Dihilangkan dari Indonesia agar Terjaga Nasionalisme Indonesia yang Seutuhnya.

JPP, JAKARTA - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH Ahmad Hasyim Muzadi mengharapkan agar kesombongan mayoritas dihilangkan dari Indonesia. Menyusul, saat ini masih saja banyak orang yang merasa bahwa hidup dengan mayoritas umat yang banyak itu adalah sesuatu yang luar biasa. Seakan-akan mayoritas itu adalah simbol kebenaran.

Menurut Hasyim Muzadi, hidup di negara yang penuh dengan toleransinya dan berbhinneka tunggal ika itu seharusnya membentuk seluruh umat di Indonesia untuk tidak saling menyombongkan diri dengan kebesaran mayoritasnya.

"Sebab kebenaran adalah kebenaran, mayoritas adalah mayoritas, minoritas adalah minoritas dan di Indonesia ini umat yang minoritas di suatu tempat boleh jadi menjadi mayoritas di tempat lain dan sebalik," ujarnya.

Menurutnya agama apapun yang berkembang di negara ini, kalau menawarkan humanisme atau menawarkan kemanusiaan. Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan agama agar manusia hidup sejaterah dunia dan akhirat. Oleh karena itu tugas agama adalah menyebarkan, kesejateraan, keadilan serta persamaan.

Jika semuanya itu berjalan dengan baik maka ia meyakini, baik mayoritas dan minoritas agama itu dapat tumbuh dan dihargai oleh seluruh rakyat Indonesia.

Tetapi jika agama itu dibentuk untuk mengajarkan sebuah kebencian maka mayoritas pun akan berubah menjadi minoritas. Namun jika minoritas bisa dengan betul menggunakan ajaran yang diajarkan oleh agamanya maka menurutnya yang minoritas akan menjadi mayoritas di hadapan manusia dan Tuhan yang mahakuasa.

"Saya rasa kita perlu slogan-slogan yang tetap terus menguatkan bangsa ini untuk tetap menjaga nasionalisme kita," ujar Hasyim Muzadi.

Oleh karena itu, Hasyim Muzadi menegaskan bahwa agama itu hadir untuk kesejahteraan negara, bukan sebaliknya negara akan dirobek-robek oleh kepentingan-kepentingan agama itu sendiri.

"Mari kita jaga bangsa ini agar tetap dalam ke-Bhinneka Tunggal Ikanya, agar walaupun berbeda-beda namun tetap bersaudara dari Sabang sampai Merauke," demikian Hazim.

Hakikat Kerakyatan

Terkait demokrasi, KH Hasyim Muzadi menilai Indonesia belum menyentuh hakikat kerakyatan sebagaimana yang tercantum dalam sila ke empat Pancasila, sehingga demokrasi bisa saja berbelot menjadi oligarki atau hegemoni demokrasi oleh kekuasaan dan uang.

"Karena keadilan politik tidak tercapai dengan sendirinya tanpa keadilan ekonomi, maka demokrasi bisa saja berubah menjadi bisnis demokrasi, dan bukan perjuangan demokrasi," ujar Hasyim Muzadi.

Hasyim Muzadi juga menekankan perlunya penilaian terkait pelaksanaan hukum, apakah hukum sudah ditegakkan serta berkeadilan, apakah ekonomi sudah disertai pemerataan, politik dengan amanat rakyat, budaya dengan karakter bangsa, pendidikan dengan kemandirian generasi, dan agama sebagai budi pekerti.

"Ataukah justru sebaliknya semakin menjauh dari tata nilai Pancasila itu sendiri," ujar tokoh Nahdlatul Ulama ini.

Kemudian, lanjut Hasyim Muzadi, dari kelima sila Pancasila, sila yang paling mempengaruhi opini masyarakat adalah keadilan sosial. Penataan dalam berbagai bidang kehidupan sebaik apapun akan menjadi rusak kalau keadilan sosial tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

Maka, dari sekian banyak teori demokrasi, hak-hak asasi manusia (HAM), dan keterbukaan, apabila keadilan sosialnya rusak, pada akhirnya hanya akan muncul wacana yang dipastikan tidak akan sampai tujuan.

"Semoga Allah SWT melindungi bangsa Indonesia, karena saat ini terasa bahwa beban yang harus dipikul melampaui kekuatan kita apabila tidak ada pertolongan Allah SWT," ujar Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok dan Malang itu.

Hasyim Muzadi menambahkan, Mukaddimah UUD 1945 termasuk yang disepakati untuk tidak diamandemen pada tahun 2000-2002. Keutuhan Mukaddimah UUD 1945 itu hakikatnya berisi Pancasila, sekalipun pada format yang berbeda.

"Apabila Mukaddimah UUD 1945 kita jadikan acuan dan tolok ukur proses dan produk berbangsa dan bernegara, artinya kita harus kembali ke Pancasila," ujar Hasyim Muzadi.

Indonesia Bukan Bangsa Radikal

Sementara, terkait aksi radikalisme dan terorisme oleh kelompok-kelompok agama tertentu, tidak benar-benar muncul di Indonesia. Begitu juga, hubungan antar agama di Indonesia terjalin secara harmonis, termasuk antar budaya dan adat istiadat dalam kerangka bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tetapi satu).

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut menyatakan bahwa kekerasan, ekstremisme dan terorisme mulai muncul di Indonesia setelah tragedi gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York, AS, pada 11 September 2001.

Bahkan, Hasyim Muzadi berani mengatakan bahwa proses reformasi di Indonesia yang didukung keterbukaan juga menyebabkan masuknya gerakan radikal dan ekstrimis di negara ini.

"Karena itu, Indonesia bukanlah bangsa yang radikal dan sarang teroris tetapi pada kenyataannya, juga sebagai korban dari peringkatan pengaruh global radikalisme dan terorisme," ujar Hasyim Muzadi.

Ironinya, lanjut Hasyim Muzadi, Indonesia tidak bisa melarang ideologi radikal karena proses demokratisasi di negeri ini.

Menurut Hasyim sebelum masuknya ideologi agama transnasionalisme yang membawa sistem politik negara asing, sebagian besar umat Islam di Indonesia menganut ideologi Islam moderat yang disebut "Ahli sunnah wal jamaah" yang terkonsolidasi dengan sistem negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Karena itu, Hasyim Muzadi mendesak Indonesia dan masyarakat internasional untuk merumuskan solusi umum untuk melawan kekerasan, radikalisme dan terorisme.

"Beberapa langkah yang dilakukan Indonesia untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan menjalankan gerakan anti-radikalisme untuk meningkatkan kesadaran di setiap bagian dari masyarakat. Masalah yang paling rawan adalah kesalahpahaman dan penyalahgunaan agama. Agama ditujukan untuk kebaikan seluruh umat manusia, tetapi mereka telah berubah menjadi bencana kemanusiaan," tegas Hasyim.

Hasyim juga menambahkan jika pendekatan ideologis dan hukum tidak bisa menghentikan gerakan radikal, maka tindakan untuk menekan terorisme harus diambil melalui pendekatan keamanan.

Terorisme adalah Deislamisasi

Sementara, terkait aksi terorisme yang marak terjadi baik di dalam maupun di luar negeri, menurut Hasyim Muzadi sama saja dengan proses deislamisasi atau upaya penghapusan harkat ajaran Islam.

"Yang mereka lakukan ialah menyebarkan Islam melalui teror, yang terjadi adalah Islam berubah jadi agama kekerasan," tutur.

Menurutnya, yang boleh menggunakan kekerasan hanya politik atau militer, sedangkan agama dilarang keras menggunakan cara seperti demikian.

Apabila sebuah agama telah dicap sebagai agama kekerasan, maka yang terjadi kemudian adalah keengganan manusia untuk menerima ajaran agama tersebut.

Penyebaran paham radikal, terorisme maupun ISIS juga turut dipengaruhi dengan kemunduran kegiatan dakwah oleh alim ulama.

Untuk kasus di Indonesia, Hasyim mencontohkan saat ini kerap terjadi penilaian subjektif dari segelintir pihak yang menuding kelompok atau individu yang tidak sepaham sebagai golongan kafir.

"Dulu, wali-wali mengislamkan orang kafir. Tapi yang ada sekarang malah banyak pemuka agama mengkafirkan orang Islam. Jika seperti ini terus maka gerakan dakwah akan pudar. Islam itu memimpin, bukan menekan," tegas Hasyim Muzadi.

Sebagai agama dakwah, lanjut Hasyim, Islam mengajarkan setiap pengikutnya agar menyebarkan Islam melalui jalan kedamaian. Selain itu, juga terjadi kesalahpahaman dalam mendefinisikan Islam yang kaffah.

Banyak yang menginginkan Islam secara kaffah ialah melalui pembentukan negara Islam, padahal menurut dia bukan seperti itu. "Yang diharuskan dalam negara bukan bentuknya, tapi prinsip-prinsip (Islam) yang jalan atau tidak di negara Islam itu sendiri," ulasnya.

Perang Pemikiran Dunia Islam

Saat ini, dunia Islam menghadapi perang pemikiran sehingga dapat menyesatkan pada pembenaran akan kekerasan. "Perang pemikiran terjadi di mana-mana. Salah satu contoh, shalat ataupun tidak shalat tidak apa-apa," ujar Hasyim Muzadi.

Dalam pergaulan dunia dengan bermacam agama, suku, bangsa, dia mengatakan Islam menonjolkan ketulusan dan toleransi antar sesama. "Islam baik tidak tergantung pada war of perception (perang pemikiran)," tutur Hasyim.

Menurut Hasyim, umat muslim memiliki cara pembelaan dengan mengutamakan nilai kebenaran dan rasionalisasi. "Kelemahan kita yang lain karena kalah dalam war of perception maka teologi ibadah kadang tidak tembus ke insan," ulas Hasyim.

Untuk itu, Hasyim mengimbau agar setiap warga muslim tidak mudah terpengaruh pada berbagai paham yang mengarahkan pada kekerasan dan kejahatan seperti terorisme.

Ketika warga muslim kalah dalam mempertahankan pemikiran baik yang berdasarkan kebenaran, maka dapat berujung pada keterlibatan dalam berbagai bentuk kekerasan.

"Kita harus mengurangi persepsi-persepsi salah, dan masuk ke moderasi dalam Indonesia dan moderasi internasional," pungkas Hasyim. (nbh/*)