Banjir Pujian Ekonomi Indonesia

:


Oleh DT Waluyo, Rabu, 20 Juli 2022 | 10:16 WIB - Redaktur: Untung S - 1K


Jakarta, InfoPublik – Pujian itu mengalir dari berbagai penjuru. Antara lain dari Lembaga keuangan dunia alias Dana Moneter Internasional (IMF). Sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyampaikan penilaian tentang ekonomi Indonesia yang dalam kondisi baik.

Saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Minggu (17/7/2022), Kristalina yang didampingi Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan, dan Representatif Senior IMF untuk Indonesia James Walsh, memuji langkah pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19.

Terdapat beberapa sisi sebagai indikator ekonomi Indonesia yang menunjukkan perbaikan. Selain kinerja ekonomi yang mendorong pertumbuhan, juga bisa dilihat dari neraca pembayaran yang mengalami surplus perdagangan selama 26 bulan berturut-turut, dan inflasi yang berada di bawah 5 persen.

"Paling penting yaitu sinkronisasi dan kerja sama kebijakan moneter fiskal dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan untuk bisa menjaga tetap bekerja secara harmonis, karena itu akan membantu menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia," jelas Menkeu, Sri Mulyani, yang ikut dalam pertemuan di Istana Bogor itu.

Sejauh ini, ungkap Menkeu Sri Mulyani, indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi positif. Statistik mencatat  total PDB Indonesia Rp16.970,8 triliun, jumlah penduduk 279,1 juta jiwa, maka PDB/kapita Rp62,2 juta. Pertumbuhan ekonomi 3,69 persen, tingkat inflasi 3,6 persen (year on year/yoy), defisit fiskal 4,85 persen (PDB).

Cadangan devisa Rp1.946,2 triliun (234 persen dari utang jatuh tempo 2022), jumlah utang Rp6.908,8 triliun (40,71 persen dari PDB), jumlah utang luar negeri Rp2.075,2 triliun (12,22 persen dari PDB), depresiasi nilai tukar terhadap USD 4,14 persen (year to date/ytd). Peringkat utang S&P: BBB, Fitch: BBB. Perkiraan probabilitas resesi (survey Bloomberg) 3,0 persen.

Jauh dari Potensi Resesi

Merujuk angka-angka tersebut, para punggawa sektor ekonomi RI pun optimis; Indonesia  relatif jauh dari potensi resesi yang kini tengah melanda sejumlah negeri di dunia. Adapun yang disebut negara gagal, kendati belum ada konsensus tentang batasan negara gagal, secara umum didefinisikan sebagai negara yang tidak mampu menjamin kebebasan warganya: bebas dari kekerasan, rasa takut, kelaparan, kemiskinan, dan ketimpangan ekstrem, serta bebas untuk menjalani hidup layak, mendapatkan layanan publik, dan mengenyam pelbagai kebutuhan dasar lain.

Srilangka adalah salah satu contoh yang dikategorikan sebagai Negara Gagal (failed state) setelah terjadi krisis ekonomi, dan berlanjut dengan krisis politik yang mendorong sang Presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri ke luar negeri.

Kondisi Srilangka saat ini mengalami inflasi hingga 54,6 persen (yoy), defisit fiskal 8,8 persen (PDB). Cadangan devisa Rp27,5 triliun (44,77 persen dari utang jatuh tempo 2022), jumlah utang Rp1.327 triliun (104,6 persen dari PDB), jumlah utang luar negeri Rp490 triliun (36,60 persen dari PDB), depresiasi nilai tukar terhadap USD 44,3 persen. Peringkat utang S&P: SD (Selective Default), Fitch: RD (Restricted Default). Perkiraan probabilitas resesi (survey Bloomberg) 85,0 persen.

Jika dibanding Srilangka, berbagai indikator Indonesia jauh lebih baik. Fakta itu ditunjukkan oleh The Fund for Peace, organisasi global yang mengukur kadar kerentanan sebuah negara (FragileStateIndex). Ada empat aspek (kohesivitas, ekonomi, politik dan sosial) yang dirinci ke dalam 12 indikator (terkait dimensi ekonomi, politik, sosial, dan lintas sektor, serta kohesi sosial dan keamanan).

Terhadap ke-12 indikator tersebut dilakukan analisa mendalam (kualitatif dan kuantitatif) dengan metodologi yang cukup keras (rigorous),  yang bisa mengancam sebuah negara masuk negara gagal (failed state). Penilaian memakai score 0 sampai 10, semakin besar angkanya maka semakin rentan (buruk).

Dalam Laporan Tahunan Indeks Negara Rentan (The Fragile State Index)  pada 2022, Indonesia berada di urutan ke 100 (dengan total score: 66,6) dari 179 negara. Sementara itu, Sri Lanka ada di posisi 56 (total score: 79,3). Score yang semakin besar menunjukkan kondisi negara tersebut semakin buruk (semakin rentan gagal).

Meski angka-angka statistik memberikan rasa aman, namun pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah tetap berharap adanya dukungan banyak pihak, termasuk dari lembaga keuangan dunia (antara lain IMF) untuk terus memberikan narasi positif terhadap perekonomian Indonesia terutama dalam menghadapi krisis global.

"Kita sangat mengkhawatirkan dengan kondisi inflasi yang naik di berbagai negara. Tingkat suku bunga akan masuk rezim baru yaitu kenaikan tingkat suku bunga global dan tentu sangat mempengaruhi terhadap investasi yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia," ujar Menteri Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto.

Pengaruh global, sebagaimana disampaikan Airlangga, kini menjadi persoalan serius. Karena itu, pemerintah harus tetap waspada. Demikian halnya dengan kondisi dalam negeri, sekalipun secara statistik terlihat aman, namun segala tanda-tanda ancaman tidak boleh diabaikan alias harus ditangani dengan baik dan benar. Negara gagal, merupakan cikal bakal tumbangnya suatu negara (state collapse), seperti yang terjadi terhadap Uni Soviet dan Yugoslavia.(*)

Ilustrasi, Presiden Joko Widodo menerima delegasi Dana Moneter Internasional (IMF) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Minggu, 17 Juli 2022. (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)