Tiga Ancaman Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

:


Oleh DT Waluyo, Rabu, 25 Mei 2022 | 09:14 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 1K


Jakarta, InfoPublik - Kinerja ekonomi semakin menguat di semua provinsi di tanah air, seiring dengan dengan terkendalinya pandemi COVID-19. Seluruh daerah mencatatkan pertumbuhan positif di awal 2022.

Kesimpulan itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya pada Acara APBN Kita Edisi April 2022. “Yang bagus tentu dari pertumbuhan kuartal satu ini adalah cukup merata di seluruh sektor di seluruh daerah,” ungkap Menkeu Sri Mulyani dalam kesempatan penyampaian hasil pemantauan pelaksanaan APBN dalam APBN Kita Edisi April 2022 di Aula Djuanda Kementerian Keuangan, Senin (23/05/2022).

Selain daerah di Pulau Jawa yang tumbuh di atas 5 persen, demikian data yang diunggah Kementerian Keuangan https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-pertumbuhan-kuartal-i-2022-merata-di-seluruh-daerah/, daerah di Pulau Sulawesi juga menunjukkan pertumbuhan yang sama yakni mencapai 5,3 persen. Bahkan pertumbuhan ekonomi Maluku dan Papua mencapai 10,75 persen.

Sementara itu, Kalimantan menunjukkan zona positif di 3,21 persen. Sumatera juga tumbuh positif tidak pernah turun meski masih di level 4 persen. Adapun Bali dan Nusa Tenggara mulai menunjukkan pemulihan di 3,42 persen setelah kondisi dua tahun yang terpukul akibat pandemi Covid-19. “Ini menggambarkan bahwa komoditas yang membaik dan juga dari sisi pertumbuhan antardaerah menggambarkan adanya pemulihan yang cukup merata,” jelas Menkeu. 

Tiga tantangan berat

Di tengah optimisme ekonomi dalam negeri, Kemenkeu juga mengingatkan adanya tantangan yang menghadang. Hal ini terkait dengan perkembangan akibat geopolitik. Persisnya perang Rusia – Ukraina. Kondisi ini telah menimbulkan spillover dalam bentuk kenaikan barang-barang terutama energi dan pangan dan terjadinya supply disruption.

Saat ini, setidaknya ada tiga tantangan; inflasi tinggi, suku bunga tinggi dan potensi pelemahan  ekonomi.  Ketiganya menyebabkan tekanan pada pertumbuhan ekonomi di berbagai negara. Hal ini tergambar pada angka penurunan pertumbuhan di kuartal I 2022.

Beberapa negara yang mengalami pelemahan pertumbuhan ekonomi. Di antaranya: Meksiko sebesar 1,6 persen (year on year/yoy), Taiwan 3,1 persen yoy, Korea 3,1 persen yoy, Singapura 3,4 persen yoy, Amerika Serikat 3,6 persen yoy, dan RRT 4,8 persen yoy.

Selain itu, eskalasi tensi geopolitik menjadi penyebab lonjakan harga komoditas pangan dan energi. Natural gas atau gas alam terjadi lonjakan 125,8 persen (year to date/ytd). Coal atau batu bara melonjak 166 persen ytd. Brent mengalami kenaikan 45,7 persen ytd. CPO naik 20,9 persen ytd. Wheat atau gandum naik 55,6 persen ytd. Jagung naik 31,6 persen ytd. Sedangkan kedelai dan gandum-ganduman naiknya masing-masing 28,1 persen dan 15,5 persen ytd.

Dari data tersebut menunjukkan  bahwa seluruh komoditas yang sangat menentukan daya beli yaitu energi dan pangan, mengalami lonjakan harga. Seluruh dunia tidak terkecuali mengalami imbas dengan kenaikan yang sangat tajam.

Sebagai akibat kenaikan harga komoditas itu, inflasi di berbagai negara naik karena banyak negara tidak melakukan shock absorber. Artinya kenaikan ini langsung dirasakan oleh rakyatnya sehingga masyarakat di negara-negara tersebut menghadapi inflasi yang melonjak tinggi.

Pada negara emerging seperti India mencapai inflasi 7,8 persen, Korea Selatan 4,8 persen, Afrika Selatan 5,9 persen, dan Meksiko 7,7 persen. Bahkan tingkat inflasi di negara maju mencapai tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Seperti tingkat inflasi Brazil mencapai 12,1 persen, Rusia 17,8 persen, Amerika Serikat 8,4 persen, dan Inggris 9 persen.

Dengan situasi inflasi yang meningkat tersebut, maka negara-negara akan menjaga tingkatannya dengan kebijakan kenaikan suku bunga. Terutama kebijakan yang akan dilakukan oleh negara maju, seperti Amerika dan Eropa.

Aksi menaikkan suku bunga ini sudah dilakukan Amerika Serikat. Pada Rabu (4/05/2022), The Federal Reserve (The Fed) atau bank sentral AS,  menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) atau 0,50 persen. Lonjakan suku bunga ini menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir, atau tepatnya sejak tahun 2000 demi memerangi tingkat inflasi yang tinggi di Amerika Serikat.

Mengutip laporan Nikkei Asia, Kamis (5/05/2022), The Fed menetapkan target suku bunga dana ke kisaran 0,75 persen - 1 persen. Selanjutnya, mulai bulan Juni 2022, bank sentral juga akan mulai mengurangi simpanan aset sekitar 9 triliun dollar AS yang terakumulasi selama pandemi Covid-19 untuk mengendalikan inflasi. Simpanan aset akan dibiarkan turun sebesar 47,5 miliar dollar AS per bulan pada Juni, Juli, dan Agustus.

Demikian halnya Eropa. Selama ini, Eropa menerapkan suku bunga 0 persen. Namun dengan inflasi 7,4 persen seperti saat ini,  Eropa pun mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka juga akan melakukan penyesusaian alias menaikkan suku bunga.

Sementara itu, Bank Indonesia, sejauh ini masih mempertahankan bunga repo 3,50 persen. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga pertumbuhan yang membaik di dalam negeri.

Dalam konteks perekonomian global, perubahan suku bunga sangat berpengaruh pada persepsi dan minat investor asing. Sekiranya suku bunga di Indonesia dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga lainnya, maka investor akan lebih tertarik menanamkan dana di sini. Investor berharap untuk dapat memperoleh imbal hasil lebih tinggi. Demikian sebaliknya, jika bunga di sini dinilai lebih rendah, investor akan memilih negara yang menerapkan suku bunga lebih tinggi. (*)

 

Foto: Menkeu Sri Mulyani (baju batik) dalam kesempatan penyampaian hasil pemantauan pelaksanaan APBN dalam APBN Kita Edisi April 2022 di Aula Djuanda Kementerian Keuangan, Senin (23/05/2022). (Dok. Kemenkeu)