Ini Cara Pemerintah Mengelola Potensi Inflasi

:


Oleh DT Waluyo, Senin, 11 April 2022 | 13:27 WIB - Redaktur: Untung S - 679


Jakarta, InfoPublik – Dalam waktu bersamaan, peringatan itu datang bertubi-tubi. Awas, potensi kenaikan inflasi! Pemberi peringatan pun bukan lembaga kaleng-kaleng.

Peringatan pertama disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Kamis (7/4/2022), Kepala BPS, Margo Yuwono, menyampaikan prediksi potensi kenaikan inflasi pada April 2022. Hal itu, merupakan efek dari kenaikan komponen administered prices.

Komponen yang dimaksud diantaranya adalah penyesuaian harga LPG non-subsidi per 27 Februari 2022. Faktor lain adalah adanya penyesuaian BBM jenis Pertamax per 1 April 2022, serta penyesuaian pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen per 1 April 2022.

Selain itu, potensi inflasi di April 2022, juga didorong oleh kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik pada Ramadan 2022. ”Jika inflasi pangan berlangsung lama akibatnya akan berdampak pada kenaikan garis kemiskinan,” jelas Margo.

Alasannya, masih kata Margo, garis kemiskinan ditentukan oleh 74,05 persen makanan dan sisanya 25,95 persen non makanan, sehingga jika inflasi pangan tinggi maka otomatis jumlah penduduk miskin bertambah.

Merujuk Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 diprediksi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk.

Adapun peringatan kedua akan naiknya inflasi disampaikan Bank Indonesia (BI). “Sampai dengan akhir tahun ini, inflasi mungkin di batas atas, yaitu 4 persen yoy,” ujar Deputi Gubernur BI Dody BudI Waluyo dalam acara LPPI Virtual Seminar #72 bertajuk Exit Strategy untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi, Kamis (7/4/2022).

BI menengarai, inflasi global sebagai salah satu sebab meningkatnya iniflasi di tanah air. Selain itu, inflasi juga meningkat sebagai akibat melonjaknya harga komoditas karena imbas perang Rusia dan Ukraina yang mengganggu rantai pasok global. 

Suplai yang terganggu itu, disambut dengan peningkatan permintaan karena pemulihan ekonomi di berbagai negara. Hal itu yang menyebabkan inflasi meningkat. “Karena komoditasnya tidak hanya energi, tetapi komoditas lain. Kecenderungan suplai terganggu di tengah permintaan yang pulih,” tambah Dody.

Apa itu Inflasi

Peringatan akan inflasi dari berbagai kalangan itu, menunjukkan pentingnya pengelolaan inflasi. Lantas apa itu inflasi?

BI (https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/moneter/inflasi/) mendeskripsikan Inflasi sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Lawan inflasi adalah deflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.

Secara sederhana inflasi dapat digambarkan bahwa apabila uang lebih banyak beredar daripada barang. Besar atau kecilnya inflasi itu diukur dari pengaruh harga untuk mendapatkan barang. Sebagai contoh. Tadinya untuk dapatkan barang orang membayar Rp10.000. Kemudian harga naik untuk barang yang sama, yaitu jadi Rp11.000. Maka itu artinya inflasi sebesar Rp1000.

Naiknya harga itu disebabkan oleh berbagai sebab. Secara umum, harga naik disebabkan karena barang lebih sedikit di pasar. Istilah kerennya, ada tekanan dari sisi supply (cost push inflation). Atau sebaliknya ada tekanan dari sisi permintaan (demand pull inflation).

Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (Administered Price),  sebagaimana disampaikan Kepala BPS di atas, dimana pemerintah menaikkan harga BBM, berbuntut pada kenaikan biaya angkut. Selain itu, harga naik juga karena faktor psikologis. Artinya, orang khawatir barang langka, sehingga mereka memborong barang sehingga harga ikut naik. Hal itu terjadi pada kasus minyak goreng sawit beberapa waktu lalu.

Harga naik, juga karena perilaku produsen dan pedagang, terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut.

Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

Apakah Inflasi itu salah?, Indonesia menganut rezim yang secara ketat menjaga stabilitas dan mengendalikan inflasi rendah. Alasannya, inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pentingnya pengendalian inflasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.

Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai Rupiah.

Solusi Inflasi saat Ini

Dalam konteks merambatnya harga-harga pangan seperti saat ini, tentu saja sangat mengkhawatirkan, sebagaimana diingatkan oleh BPS dan BI. Sebab imbasnya akan kemana-mana. Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang penghasilannya belum tentu bertambah, harus menanggung beban berat; membayar komoditas dengan lebih lebih mahal.

Inflasi yang tinggi juga akan terkait nilai kurs rupiah (rupiah melemah). Ujung dari kurs ini adalah soal kemampuan membayar utang mata uang asing. Dalam hal ini, yang kena imbas bukan hanya pemerintah, tetapi juga dunia usaha swasta dan BUMN yang punya utang luar negeri.

Lantas, apa solusinya? Inflasi naik di musim hari raya (Lebaran) adalah hal biasa. Biarkan terjadi untuk sementara. Pemerintah cukup melakukan isolasi resiko sosial terhadap MBR. Caranya adalah dengan subsidi dan bantuan langsung tunai (BLT).

Syukurlah yang terakhir itu sudah dilakukan (https://infopublik.id/kategori/nasional-sosial-budaya/623187/pemprov-dki-mulai-cairkan-berbagai-bantuan-sosial). Berikutnya adalah menjaga agar inflasi tidak menjadi liar.(*)

Ilustrasi, Presiden meninjau pasar minyak goreng (Dok. Setneg)