Januari 2021, Neraca Perdagangan RI Mengalami Surplus

:


Oleh DT Waluyo, Kamis, 18 Februari 2021 | 10:44 WIB - Redaktur: Ahmed Kurnia - 963


Jakarta, InfoPublik – Rapor hijau kembali ditorehkan sektor pedagangan Indonesia selama Januari 2021. Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kurun itu neraca perdagangan mengalami surplus sebesar US$ 1,96 miliar. “Ini jauh lebih bagus, kalau dibandingkan posisi neraca dagang pada Januari 2020 dan 2019,” tegas Suhariyanto, Selasa (15/2) via video. conference.

Sebagai informasi pada Januari tahun 2020, neraca perdagangan Indonesia defisit US$640 juta. Tahun sebelumnya, Januari 2019, defisit US$980 juta. Dari sisi nilai, performa perdagangan di Januari 2021 itu menorehkan angka US$15,3 miliar atau naik 12,24% yoy.

Trend positif tersebut merupakan kelanjutan performa sepanjang 2020. Dalam catatan BPS neraca dagang (trade balance) Indonesia 2020 mencatatkan saldo surplus senilai US$ 21,74 miliar. Besaran surplus neraca dagang itu menjadi yang tertinggi sejak satu dekade terakhir.

Berdasarkan negara tujuan ekspor Indonesia, seolah menjadi tradisi, negara Amerika Serikat (AS) dan India selalu menunjukkan nilai surplus. Nilai perdagangan Indonesia ke AS surplus hingga US$1,09 miliar. Surplus itu terjadi lantaran nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai US$1,67 miliar. Sementara posisi impor hanya US$581 juta.

Sementara surplus dalam perdagangan dengan India sebesar US$563 juta. Berikutnya dengan Filipina surplus US$504 juta.

Sementara untuk defisit perdagangan, pun seolah menjadi tradisi, yakni dengan negara China atau Tiongkok, Australia dan Korea Selatan. Defisit dengan mitra dagang negara China mencapai US$1,09 miliar. Defisit itu terjadi karena nilai impor mencapai US$4,14 miliar, sementara ekspornya hanya US$3,0 miliar.

Sementara defisit neraca dagang Australia sebesar US$243 juta dan Korea Selatan senilai US$92 juta.

Merujuk angka BPS tersebut, surplus neraca transaksi berjalan pada Januari 2021 tetap sebagai berita gembira di tengah pagebluk COVID-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Dalam sejumlah rilisnya, Bank Indonesia menilai surplus neraca dagang ini akan  berkontribusi positif dalam menjaga ketahanan eksternal perekonomian Indonesia. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal, termasuk prospek kinerja neraca perdagangan.

Struktur  Ekspor-Impor

Surplus neraca juga juga meningkatkan kepercayaan dan optimisme dalam memandang masa depan ekonomi Indonesia yang lebih baik di masa pandemi. “Kita berharap ekspor di bulan-bulan ke depan akan bertumbuhan sehingga pemulihan ekonomi akan berjalan sesuai harapan,” tambah Suhariyanto.

Harapan Suhariyanto tidak berlebihan, sekalipun untuk itu perlu kerja keras plus tetap waspada. Sebab, untuk Indonesia, variabel ekspor dan impor terbilang unik. Mencermati laporan BPS, berdasarkan klasifikasi barang, penurunan impor di sepanjang 2020 terjadi pada barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal, yang masing-masing tercatat minus 10,93%, 18,32%, dan 16,37%.

Padahal, impor bahan baku dan barang modal adalah sumber utama penggerak aktivitas industri pengolahan. Konkretnya, surplus neraca perdagangan belum tentu menjadi sinyal positif menggeliatnya ekonomi domestik. Melemahnya impor justru merupakan indikasi bahwa ekonomi Indonesia belum bisa bergerak.

Dalam konteks seperti itu, surplus ataupun defisit neraca perdagangan perlu dibaca secara hati-hati. Defisit berdagangan yang diakibatkan meningkatkan impor barang modal (mesin, peralatan, dan bahan baku) misalnya, justru harus dinilai secara positif. Karena itu menunjukkan adanya peningkatan investasi baru atau aktivitas ekonomi  yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Hal semacam itu bisa dibaca jika mencermati secara mendalam karakter ekspor dan impor dengan negara mitra dagang. Dari waktu ke waktu, dalam satu tahun terakhir ini, strukturnya masih sama. Ekspor  nonmigas Indonesia yang utama adalah komoditas lemak dan minyak hewan/nabati, bahan bakar mineral, lemak, serta besi dan baja. Sementara untuk impor nonmigas, didominasi kelompok konsumsi, bahan baku, maupun barang modal.

Sekedar menyebut contoh, negara China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia. Pada periode Desember 2020 porsi impor dari  China meningkat sebesar US$550,1 juta atau 34,28% dari total impor pada periode tersebut. Pada periode yang sama, China  juga menjadi pangsa pangsa ekspor non migas terbesar Indonesia, yakni  21,39%  dari total ekspor. BPS mencatat, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China sebesar US$1,12 miliar.

Telaah mendalam atas struktur ekspor-impor merupakan pekerjaan rumah Pemerintah. Sebagaimana diingatkan pula oleh Suhariyanto setelah mencermati lebih jauh kinerja impor, di sana tampak menurun baik secara tahunan maupun bulanan. Impor pada Januari 2021 tercatat sebesar US$13,34 miliar atau turun 7,59% mom dan secara tahunan turun 6,49% yoy.

Penurunan tersebut, masih kata Suhariyanto, didorong oleh penurunan kinerja impor barang konsumsi, barang penolong, maupun barang modal yang mengindikasikan bahwa pergerakan impor masih belum sesuai harapan.

Mengacu pada hal di atas, pengembangan industri yang meningkatkan nilai ekspor merupakan prioritas yang harus dilakukan. Dengan kata lain, Pemerintah perlu kembali meredesain industri pada subsektor yang mampu menciptakan nilai tambah. Sejalan dengan itu, industri substitusi impor, bukan saja tidak boleh ditinggalkan, justru harus digalakkan. Langkah lain adalah terus konsisten menggenjot gerakan untuk mengkonsumsi produk dalam negeri.

Keterangan Foto: aktifitas di pelabuhan ekspor - impor (Foto: ANTARA)