- Oleh MC PROV GORONTALO
- Jumat, 8 November 2024 | 14:48 WIB
: Kepala Dinas PPPA Provinsi Gorontalo, Yana Yanti Suleman, di kegiatan pelatihan layanan dalam rangka input teknis penyusunan kebijakan PPPA Provinsi Gorontalo, Rabu (6/11/2024). (Foto: istimewa)
Oleh MC PROV GORONTALO, Jumat, 8 November 2024 | 14:42 WIB - Redaktur: Bonny Dwifriansyah - 112
Kota Gorontalo, InfoPublik - Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Gorontalo semakin menjadi perhatian utama, seiring dengan meningkatnya jumlah laporan kekerasan yang diterima oleh lembaga perlindungan perempuan dan anak setempat.
Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari fisik, seksual, emosional, hingga penelantaran dan eksploitasi ekonomi, menjadi masalah yang tidak hanya merugikan korban, tetapi juga menurunkan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Gorontalo, Yana Yanti Suleman, mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam penanganan kasus kekerasan adalah stigma sosial yang masih mengakar.
Menurutnya, banyak kasus kekerasan, khususnya yang terjadi di lingkungan rumah tangga, tidak dilaporkan karena adanya rasa malu dan ketakutan korban terhadap pandangan negatif masyarakat.
“Budaya patriarki yang kuat di beberapa komunitas seringkali menormalisasi kekerasan, sehingga korban merasa tertekan dan enggan berbicara,” ungkap Yana saat menjadi pemateri pada pelatihan layanan dalam rangka input teknis penyusunan kebijakan PPPA Provinsi Gorontalo, di aula Rumah Jabatan Gubernur, Rabu (6/11/2024).
Selain stigma sosial, menurut Yana, kurangnya edukasi terkait kekerasan juga menjadi faktor pendorong. Banyak masyarakat yang tidak mengenali berbagai bentuk kekerasan, terutama yang bersifat psikologis atau verbal, sehingga tidak menyadari bahwa mereka atau orang di sekitar mereka sedang mengalami kekerasan.
“Pendidikan terkait hak-hak perempuan dan anak serta pemahaman mengenai kekerasan perlu terus digalakkan,” tambahnya.
Kurangnya dukungan dan layanan untuk korban juga menjadi kendala utama. Tenaga profesional yang terbatas, seperti psikolog dan konselor, membuat penanganan kasus kekerasan sering kali tidak optimal. Selain itu, sistem hukum yang lambat dan kurang berpihak pada korban turut memperburuk situasi.
“Korban seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang cukup dari sistem hukum, apalagi jika melibatkan kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan seksual,” tutur Yana.
Terkait dengan hal ini, Dinas P2PA Provinsi Gorontalo telah menerapkan berbagai strategi untuk menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di antaranya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat melalui program edukasi tentang hak-hak perempuan dan anak, serta memberikan pemahaman mengenai risiko kekerasan dan eksploitasi.
“Kampanye kesadaran ini melibatkan berbagai elemen, mulai dari sekolah hingga komunitas lokal,” ujarnya.
Selain itu, upaya peningkatan akses layanan kesehatan, psikologis, dan hukum bagi korban juga menjadi prioritas. Fasilitas pelindung dan hotline darurat telah disiapkan untuk memberikan dukungan cepat kepada korban yang membutuhkan.
Di samping itu, program pelatihan keterampilan untuk perempuan bertujuan agar mereka memiliki kemandirian ekonomi, yang dapat mengurangi ketergantungan dan risiko kekerasan.
Yana menuturkan, bahwa kerjasama antara pemerintah, LSM, masyarakat, dan aparat keamanan juga harus diperkuat untuk memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik.
Pemerintah Provinsi Gorontalo terus mendorong pengembangan kebijakan yang lebih efektif untuk melindungi perempuan dan anak.
“Rehabilitasi bagi anak-anak yang mengalami kekerasan atau eksploitasi juga menjadi fokus utama, termasuk memastikan mereka mendapatkan pendidikan yang layak,” ujar Yana. (mcgorontaloprov/war)