- Oleh MC KOTA PONTIANAK
- Senin, 2 Desember 2024 | 20:04 WIB
: Focus Group Discussion (FGD) terkait Garis Sempadan Sungai (GSS) dan pengurangan kawasan kumuh di Kota Pontianak | Foto : MC Pontianak
Oleh MC KOTA PONTIANAK, Jumat, 1 November 2024 | 08:05 WIB - Redaktur: Untung S - 202
Pontianak, InfoPublik – Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak berkomitmen untuk mengentaskan kawasan kumuh, terutama yang berada di tepian Sungai Kapuas. Meski dalam upaya penataan kawasan kumuh tersebut, masih dihadapi berbagai kendala.
Salah satunya adalah ketika Pemkot Pontianak mengusulkan Dana Alokasi Khusus Terintegrasi (DAKIN) kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menata kawasan kumuh di tepian Sungai Kapuas, tepatnya di Gang Mendawai, Kelurahan Bansir Laut, Kecamatan Pontianak Tenggara. Usulan tersebut ditolak karena gagal dalam proses konsolidasi tanah yang menjadi persyaratan pengusulan DAKIN.
Berkaca dari kegagalan tersebut, Pemkot Pontianak melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) menggelar Focus Group Discussion (FGD) terkait Garis Sempadan Sungai (GSS) dan pengurangan kawasan kumuh di Kota Pontianak di Hotel Harris Pontianak pada Kamis (31/10/2024).
Penjabat (Pj) Wali Kota Pontianak, Ani Sofian, menjelaskan bahwa salah satu faktor utama gagalnya usulan DAKIN adalah sebagian rumah warga yang terkena GSS tidak dapat menunjukkan sertifikat tanah. Menurutnya, polemik di lapangan terjadi ketika menentukan patok GSS yang memiliki persepsi berbeda, baik dari ketidakjelasan gambar di Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) maupun hasil pengukuran yang dilakukan oleh pihak Balai Wilayah Sungai Kalimantan (BWSK) I.
“Keadaan ini, jika tidak disesuaikan dan ditindaklanjuti secara jelas, akan menyulitkan upaya pengentasan kawasan kumuh di tepian sungai. Oleh karena itu, komitmen dari semua pihak sangat dibutuhkan,” ujarnya.
Mengacu pada pengalaman daerah lain atau negara lain, Ani Sofian menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur dapat dilaksanakan secara luas dan akomodatif dengan lebih banyak kompromi dalam aturan dan pengaturannya. Oleh karena itu, pengentasan kawasan kumuh memerlukan upaya dari berbagai pihak agar menghasilkan win-win solution antara pembuat kebijakan dan masyarakat.
“Pemkot Pontianak berkomitmen mengentaskan permukiman kumuh hingga nol, meskipun upaya ini menghadapi tantangan dan hambatan, baik dari segi sosial, kondisi alam, anggaran, maupun peraturan yang ada,” tambahnya.
Dia berharap melalui forum ini, semua peserta dapat bertukar pikiran untuk menyamakan persepsi dan menemukan solusi sinergis antara penetapan GSS dan penanganan kawasan kumuh dengan pendekatan yang holistik, melibatkan semua pemangku kepentingan.
“Kita bisa menciptakan rancangan tindak penerapan GSS yang berkelanjutan. Hasil diskusi dan rekomendasi terbaik akan kita sampaikan kepada pemerintah pusat, yaitu Bappenas dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, agar menjadi pertimbangan dalam pengaturan khusus untuk penanganan permukiman di sepanjang tepian sungai,” sebut Ani Sofian.
Ketua Panitia FGD, Alfri, menjelaskan bahwa latar belakang digelarnya forum diskusi ini adalah sebagai upaya untuk mengentaskan permukiman kumuh hingga nol. Penataan kawasan kumuh di tepian Sungai Kapuas memerlukan GSS sebagai titik mula dalam penanganan kawasan kumuh.
“Banyak tantangan dan hambatan di lapangan yang dihadapi, baik dari segi sosial, kondisi alam, anggaran, dan peraturan, khususnya pada kawasan kumuh di tepian sungai,” ungkapnya.
Alfri menyoroti bahwa kegagalan dalam pengusulan DAKIN kepada Bappenas untuk penanganan kawasan kumuh Gang Mendawai disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk penerapan GSS yang membingungkan. Di satu sisi, pihaknya ingin menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan percontohan dengan nilai warisan budaya, sementara di sisi lain, penerapan GSS yang belum jelas mengakibatkan beberapa rumah warga tidak bisa mendapatkan sertifikasi tanah melalui program konsolidasi tanah dari Kantor Pertanahan Kota Pontianak.
“Hal ini menjadi salah satu penyebab penolakan warga terhadap penataan kawasan tersebut. Akibat tidak lengkapnya persyaratan kriteria readiness yang ditetapkan oleh Bappenas, usulan DAKIN ditolak,” terangnya.
Sebagai penyelenggara FGD, Alfri mengajak semua peserta untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi, terutama mengenai penerapan GSS di permukiman tepian sungai, khususnya kawasan kumuh.
“Kita perlu menjadikan aturan yang lebih jelas dalam penerapannya. Sehingga, ketika dilaksanakan di lapangan, kita sudah memiliki patokan dan rambu yang jelas terkait penerapan GSS,” tegasnya.
Dalam FGD ini, empat narasumber dengan latar belakang disiplin ilmu masing-masing dihadirkan untuk mengetahui persepsi terkait pengaturan GSS. Melalui forum ini, diharapkan dapat menyamakan persepsi tentang bagaimana ke depannya mengatur GSS agar tidak selalu menjadi polemik.
“Semoga penanganan kumuh dan penataan kawasan tepian sungai dapat lebih baik sesuai harapan kita bersama,” tutupnya. (prokopim/Jemi Ibrahim)