- Oleh MC KAB TOLITOLI
- Kamis, 24 Oktober 2024 | 15:38 WIB
: Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala, dr. Syahriar saat memberikan materi pada kegiatan Orientasi Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer bagi Tenaga Kesehatan Puskesmas 2024./Foto: Cs.
Oleh MC KAB DONGGALA, Kamis, 21 Maret 2024 | 06:02 WIB - Redaktur: Juli - 12K
Donggala, InfoPublik - Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Donggala, dr. Syahriar, mengklaim telah terjadi penurunan kasus stunting di Kabupaten Donggala.
Tren penurunan stunting itu termuat dalam basis data sistem elektonik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPBGM).
Data ini memuat data hasil pengukuran dan pelaporan gizi yang dientri setiap bulan oleh pengelola gizi di tiap-tiap Puskesmas. Meski begitu, Kadinkes mengaku bahwa data itu belum terpublikasi dalam data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam periode satu tahun.
"Stunting di Donggala tahun ini turun, kami mempunyai database e-PPBGM secara realtime setiap bulan untuk Kabupaten Donggala, pada 2023 ada penurunan di angka 20 persen lebih. Jika dikonversi ke data SSGI 2022 di angka 32,4 persen. Namun data resmi SSGI hingga saat ini belum dipublikasi," ungkap dr. Syahriar di sela-sela kegiatan Orientasi Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer bagi Tenaga Kesehatan Puskesmas tahun 2024, di Jazz Hotel Palu, Selasa (19/3/2024).
Menurutnya, jika data tersebut akan dipublikasi, maka pihaknya akan berdiskusi lebih dahulu dengan pihak-pihak terkait, karena ada beberapa sistem pendataan yang sangat anomali dengan data SSGI.
Di mana kata dr. Syahriar, data SSGI hanya mempublikasi seluruh balita pendek yang sebenarnya belum tentu stunting.
"Contohnya, ada beberapa yang tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok stunting karena sebelum di hitung harus dibedakan terlebih dahulu, apakah balita proporsional atau disproporsional. Kalau proporsional, maka jika balita tersebut stunting tetap akan bisa di intervensi dan dia bisa tidak masuk kategori stunting," ujarnya.
Tetapi jika Balita disporprosional, lanjutnya, maka jika diintervensi dengan segudang gizi pun tidak akan berubah, karena ada kelainan, misalnya kelainan kromosom.
"Seperti artis Ucok Baba dan Daus Mini. Kelompok disproporsional ini tidak akan bisa diubah dengan cara diintervensi apapun. Harusnya hal tersebut tidak bisa dimasukkan dalam kelompok stunting. Inilah yang membuat angka stunting terlalu tinggi," jelasnya.
Demikian halnya dengan faktor genetik, misalnya Ayah dan Ibu yang bertubuh pendek, maka balitanya tidak bisa dimasukkan dalam kelompok stunting. Karena sekalipun diintervensi, jika secara genetik turunannya juga akan pendek. Bapak yang pendek menurutnya berpotensi tiga persen memberikan kontrbusi kepada anaknya menjadi stunting, demikian pula ibunya. Oleh karena itu, faktor genetika ini seharusnya tidak boleh dimasukkan dalam pengelompokan data stunting.ĵ
"Masalahnya di puskesmas saat ini, mereka memasukkan semua data itu sebagai data pengelompokan stunting. Namun itu tak bisa disalahkan, karena setelah kami turun langsung ke lapangan, kemampuan SDM untuk menerjemahkan hal-hal seperti ini belum maksimal, karena itu salah satu langkah bijak yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengedukasi dengan pelatihan dan sosialisasi untuk peningkatan kualitas SDM kita," paparnya.
Ketidakmampuan menerjemahkan identifikasi itu sebut dr. Syahriar, bukan hanya tenaga non-dokter, bahkan dokter sekalipun masih banyak yang belum paham. Oleh sebab itu, hal inilah yang sebenarnya yang membuat terjadi benturan kepentingan karena ketidaktahuan dan saling menyalahkan.
Ia melanjutkan bahwa dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2022 sudah sangat jelas dinyatakan bahwa stunting adalah gagal tumbuh dan kembang akibat kekurangan gizi secara kronis dan disertai penyakit menular.
"Gagal tumbuh dan kembang harus dibedakan. Tumbuh itu berkolerasi dengan tinggi atau panjang badan berdasarkan umur. Sedangkan kembang berkolerasi dengan fungsi kognitif, fungsi intelegensi, fungsi keceradasan sosial, emosional dan intelektual," ucapnya.
dr. Syahriar menyarankan agar di puskesmas, mereka menggunakan beberapa parameter dalam mengidentifikasi stunting selain tinggi badan juga perkembangan sensorik dan motorik atau kemampuan menggenggam.
"Seharusnya pemerintah menggunakan data e-PPBGM karena ini sifatnya realtime setiap bulan, sedangkan SSGI hanya data situasional setiap setahun sekali. Jadi saat ini, angka prevalensi stunting di Kabupaten Donggala untuk sementara menurun, walapun angkanya belum bisa mencapai target yang ditetapkan oleh pemerintah,” tutupnya. (MC Kominfo Donggala/Rs/Jly)