- Oleh Farizzy Adhy Rachman
- Selasa, 26 November 2024 | 05:00 WIB
: Penjabat Gubernur Gorontalo, Ismail Pakaya, memberikan keterangan kepada wartawan terkait kegiatan penerbangan perdana angkutan udara perintis 2024 Koordinator Wilayah Gorontalo di Runway Bandara Djalauddin Gorontalo beberapa waktu lalu. (Foto: Dok. Kominfotik)
Oleh MC PROV GORONTALO, Kamis, 7 Maret 2024 | 18:37 WIB - Redaktur: Bonny Dwifriansyah - 161
Kota Gorontalo, InfoPublik – Pemerintah Provinsi Gorontalo butuh waktu untuk menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) soal pembayaran ganti rugi lahan Bandar Udara (Bandara) Djalaluddin Tantu.
Kepala Biro Hukum Moh. Trizal Entengo, menjelaskan bahwa pada prinsipnya pemprov menghormati putusan MA dan siap menjalankannya, tapi butuh waktu dan kehati-hatian dalam melakukan pembayaran agar tidak menyelesaikan masalah dengan masalah baru.
“Kemarin Pak Gubernur sudah menyampaikan kita berkomitmen untuk melaksanakan isi putusan. Kalau memang membayar, kita harus bayar. Perlu saya jelaskan bahwa putusan Mahkamah Agung itu dalam salah satu amar menghukum para tergugat untuk membayar kerugian materiil kepada penggugat berdasarkan perhitungan Tim Pembebasan Tanah,” ungkap Trizal, Kamis (7/3/2024).
Putusan MA tersebut, menurut Trizal, memperbaiki amar putusan PN dan putusan banding PT dari yang sebelumnya perintah kepada pemprov dan bandara untuk menyerahkan obyek sengketa kepada pengugat, menjadi mengganti kerugian. Keputusan itu, kata Trizal, memastikan operasional bandara dalam melayani penerbangan dari dan ke Gorontalo tidak akan terganggu.
Lebih lanjut, Trizal menjelaskan bahwa ada banyak hal yang memerlukan penjelasan dan penegasan dalam melaksanakan isi putusan MA tersebut. "Soal pembentukan Tim Pembebasan Lahan, apakah menggunakan panitia pembebasan yang lama (tahun 2010, saat pembebasan lahan sebelumnya) atau dibentuk baru," tuturnya.
Jika membentuk panitia baru, kata Trizal, instansi yang nanti membentuknya itu siapa, berhubung ada dua instansi yang menjadi tergugat. Pelaksanaannya pun harus mengacu pada UU No. 1 Tahun 2012 dan PP 19 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Regulasi yang mengatur mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan.
Apalagi, Trizal menambahkan, proses pembayaran ganti kerugian tersebut harus dilakukan oleh dua belah pihak, yakni pemprov dan bandara, sehingga tidak bisa hanya pemprov sendiri yang menjalankan prosesnya. Itu semua diperlukan untuk menentukan berapa nilai tanah yang harus dibayar dan nanti penganggarannya pada APBN atau APBD.
“Kami belum memperoleh penjelasan dan penegasan dari PN saat kami menghadap Ketua PN Limboto atau pada saat Aanmaning lalu. Oleh karenanya, kami masih membutuhkan pendapat atau penjelasan dari instansi yang berwenang," tandas Trizal.
Ia lalu menegaskan bahwa hal-hal itulah yang dibutuhkan agar pemprov tidak terjerat pada persoalan hukum baru lagi. "Seandainya pada putusan dijelaskan bahwa ada nilai yang harus dibayar, maka bisa jadi kita tinggal menganggarkan, berapa jadi tanggungan pemprov, berapa tanggungan bandara. Persoalannya, dalam pembebasan lahan kita tidak bisa serta merta menentukan nilainya dan melakukan pembayaran,” paparnya lagi.
Dalam proses Aanmaning di PN Limboto yang lalu, kata Trizal, pihak penggugat meminta agar tanah sengketa seluas 7.448 meter persegi itu dihargai Rp4 juta per meternya. Permintaan itu tidak bisa serta merta dipenuhi karena ada aturan yang harus dipatuhi.
Di akhir penyampaiannya, Trizal menegaskan bahwa sengketa lahan bandara menjadi prioritas dan perhatian serius Pemprov Gorontalo. Pemprov menghormati putusan MA dan berharap pihak penggugat memaklumi langkah yang diambil pemerintah.
Perlu diketahui, dalam sengketa lahan di Kawasan Bandara DJalaludin itu, awalnya sudah ada tindakan pembebasan pada tahun 2010 dengan total luas lahan sebesar 82.510 meter. Waktu itu, pemprov merogoh kocek sekitar Rp1,5 miliar atau dirata-rata Rp18.000 per meternya. Belakang, ada pihak yang melakukan gugatan dan menang hingga ke MA. (mcgorontaloprov/isam)