:
Oleh Provinsi Sulawesi Tengah, Rabu, 5 Juli 2023 | 15:17 WIB - Redaktur: Wawan Budiyanto - 139
Palu, Sulawesi Tengah - Dalam rangka membangun citra Sulawesi Tengah "Negeri 1000 Megalit" DKIPS Prov. Sulteng melakukan wawancara bersama Haliadi Sadi, Dosen Sejarah Universitas Tadulako sekaligus Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Prov. Sulteng, di Rektorat Universitas Tadulako, Selasa (4/7/2023).
Ia menjelaskan sebagai akademisi program "Negeri 1000 Megalit" sangat berpotensi untuk memperkenalkan Sulawesi Tengah khususnya kawasan megalitikum sebagai objek ilmu pengetahuan dari seluruh dunia.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yakni UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya maupun UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bertanggung jawab dalam menyelamatkan peninggalan arkeologi yang tersebar di 4 lembah yaitu Lembah Bada, Lembah Besoa, Lembah Napu dan Lembah Palu.
"Ini adalah penyelamatan terhadap cagar budaya yang tersebar di 4 lembah sebagai salah satu potensi ilmu pengetahuan yang ada di Sulawesi Tengah maupun potensi objek pariwisata purbakala, objek pariwisata sejarah, objek pariwisata antropologi di wilayah Sulawesi Tengah," kata Haliadi Sadi.
Ia menjelaskan sebagai Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Prov. Sulteng dengan adanya program ini maka perlu dilakukan penetapan benda-benda, cagar budaya dan bangunan yang berhubungan dengan situs megalitikum yang tersebar di 4 lembah tersebut.
Di samping itu, ia mengatakan masih ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk mewujudkan impian "Negeri 1000 Megalit", di antaranya pembangunan akses jalan yang baik menuju lokasi megalit, pembangunan kantor sebagai penyedia informasi sekaligus destinasi awal sebelum menuju lokasi dan; Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan megalit.
"Jadi ada tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan situs ini sebagai objek cagar budaya nasional maupun bila perlu kita akan upayakan wilayah ini sebagai situs cagar budaya dunia yang kita ajukan ke UNESCO," kata Haliadi Sadi.
(Kominfo Santik)