:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Rabu, 3 Februari 2021 | 12:33 WIB - Redaktur: Kusnadi - 2K
Oleh : Fathan Muhammad Taufiq*)
Mengapa petani selalu dalam posisi dirugikan ketika harga komoditi anjlok? Mengapa petani masih saja menggunakan pola “latah” dalam usaha tani mereka? Mengapa petani masih sering mengalami kendala dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman? Mengapa petani belum mampu menjaga kontinuitas produksi?. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering muncul saat kita “turun” ke lapangan dan medengar keluhan-keluhan petani, terkait dengan usaha tani yang mereka jalankan selama ini, khususnya tentang lemahnya posisi petani dalam penentuan harga komoditi pertanian yang mereka hasilkan. Kondisi seperti itu terus berlanjut dari waktu ke waktu, seakan begitu sulit mengurai benang kusut permasalahan “klasik” yang sering dihadapi para petani kita.
Saya mulai bisa memperoleh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, ketika beberapa waktu lalu saya sempat berkeliling ke beberapa Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang ada di wilayah kabupaten Aceh Tengah untuk bertemu dan berbagi dengan para petani. Sesuai dengan bidang yang saya kuasai dan kebetulan juga merupakan salah satu dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) saya yaitu bidang pelayanan informasi, akhirnya sedikit demi sedikit “tabir” permasalhan yang selama dihadapi oleh para petani mulai terkuak.
Dari penelusuran yang saya lakukan, salah satu penyebab petani terkadang mengalami kerugian akibat merosotnya harga komoditi pertanian yang mereka usahakan, adalah minimnya informasi yang mau dan mampu diakses oleh para petani. Setiap komoditi pertanian memiliki syarat tumbuh pada kondisi tanah, elevasi dan agroklimat tertentu. Itulah sebabnya kemudian muncul wilayah-wilayah yang disebut sentra produksi, di mana komoditi tersebut menjadi komotiti utama yang diusahakan oleh para petani di wilayah itu.
Komoditi kentang misalnya, menghendaki syarat tumbuh pada jenis dan tekstur tanah yang gembur dan subur, berada di ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut dengan tingkat kelembababan tanah sedang. Sesuai dengan syarat tumbuh tersebut, kemudian yang muncul sebagai daerah sentra produksi kentang adalah wilayah-wilyah dataran tinggi seperti Dieng di Jawa Tengah, Pengalengan di Jawa Barat, Berastagi di Sumatera Utara dan Dataran Tinggi Gayo di Aceh.
Ketika lingkup sentra produksi itu diperkecil ke spesifik lokalita di tingkat kabupaten, kemudian kita akan mendapatkan fakta bahwa meskipun Dataran Tinggi Gayo merupakan salah satu sentra produksi kentang, namun tidak semua wilayah di kedua kabupaten di Dataran Tinggi Gayo (Aceh Tengah dan Bener Meriah) bisa ditanami kentang. Hanya beberapa wilayah kecamatan saja yang kemudian menjadi sentra produksi kentang di daerah ini, sebut saja wilayah kecamatan Atu Lintang, Jagong Jeget dan sebagian Bebesen (khususnya kawasan Pantan Terong) yang bisa dijadikan sentra produksi komoditi ini. Sementara di Bener Meriah, wilayah kecamatan Bukit, Bandar, Permata, Bener Kelipah dan sebagian Syiah Utama, merupakan daerah-daerah yang potensial sebagai sentra produksi kentang.
Ketika kemudian sentra-sentra produksi kentang itu dikaitkan dengan pemasaran komoditi tersebut, maka pasar potensial terdekat adalah Kota Banda Aceh, Medan dan Batam. Pangsa pasar yang juga sangat terbuka untuk komoditi ini adalah pasar ekspor, khususnya ke Negara tetangga Malaysia dan Singapura. Maka besaran pangsa pasar atau permintaan konsumen di kota-kota besar itu serta besaran permintaan pasar ekspor itulah yang semestinya diketahui oleh para petani.
Dalam era globalisasi dan keterbukaan informasi seperti saat ini, sebenarnya tidak terlalu sulit bagi petani untuk mengakses informasi tersebut. Jaringan internet yang sudah menjangkau hampir emua polosok daerah, sangat membantu para petani untuk mengases informasi dari luar. Hanya yang jadi masalah, sampai dengan saat ini masih sangat sedikit petani yang mau dan mampu mengakses informasi tersebut untuk mendukung aktifitas usaha tani mereka.
Padahal, kalau para penati mau mengakses informasi tersebut, mereka akan dapat membuat perencanaan usaha tani dengan sebaik-baiknya, baik menyangkut luas tanam yang akan mereka usahakan maupun jadwal dan pola tanam yang akan mereka lakukan. Dengan demikian, pada saat mereka memasuki masa panen, tidak ada kesulitan bagi mereka untuk memasarkan produk pertanian yang mereka hasilkan.
Akses informasi juga memungkinkan para petani dapat menjalin kerjasama langsung dengan para pelaku usaha di kota-kota besar tersebut, bahkan dapat menjalin kerjasama dengan para eksportir, sehingga harga jual yang mereka dapatkan akan jauh lebih meningkat, dibandingkan dengan menjual produk mereka melalui pedagang pengumpul mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten.
Rantai perdagangan komoditi pertanian yang terlalu panjang itulah yang bisa menjadi salah satu penyebab harga jual yang diperoleh petani menjadi tidak seimbang dengan biaya produksi yang sudah mereka keluarkan. Dan ini terjadi pada hampir semua komoditi pertanian, utamanya komoditi hortikultura seperti Cabe, Tomat, Bawang Merah, Kol, Wortel dan lain-lainnya.
Dengan mengakses informasi, petani di Dataran Tinggi Gayo juga bisa mendapatkan data luas tanam komoditi yang sama di daerah lain seperti Berastagi misalnya, dengan demikian mereka dapat mengatur pola tanam, jadwal tanam dan luas areal tanam sesuai dengan kebutuhan pasar. Dengan pengaturan jadwal tanam dan luas tanam, tidak akan terjadi over produksi pada waktu tertetntu dan kelangkaan produk pada waktu lainnya.
Dengan menjaga kontinuitas produksi, akan lebih mudah bagi petani untuk menjalin kerjasama pemasaran produk mereka, karena bagi para pelaku usaha, selain aspek kualitas, kontinuitas produksi juga merupakan aspek terpenting dalam pemasaran produk pertanian, apalagi jika menyangkut dengan ekspor, kontinuitas produksi menjadi salah satu faktor terpenting. Kerjasama ekspor biasanya mengandung kesepakatan kuota per minggu atau per bulan dengan jumlah tertentu, jika kuota tersebut tidak mampu dipenuhi, maka perjanjian kerjasama ekspor itu diputuskan secara sepihak oleh buyer. Jika kontinuitas produksi bisa dijaga oleh petani, tentunya juga memperhatikan kualitas produk, maka aka nada jaminan harga bagi petani dan tidak akan lagi terjadi fluktuasi harga yang bisa merugikan petani.
Volume permintaan konsumen akan produk pertanian, stok produk pertanian di pasar-pasar potensial, data luas tanam dan luas panen di sentra produksi di luar daerah yang bisa dijadikan acuan dalam merencanakan kegiatan usaha tani ini, pada saat ini sudah dapat diakses oleh petani dengan memanfaatkan teknologi informasi. Dan ini yang masih jarang dilakukan oleh para petani, itulah sebabnya masalah “klasik” seperti naik turunnya harga komoditi pertanian secara drastis masih terus menjadi “momok” yang menakutkan bagi para petani.
Kondisi tersebut semakin berlarut, karena para penyuluh pertanian sebagai sosok yang mestinya bisa menjadi “jembatan” informasi bagi petani, juga masih banyak yang belum familiar untuk mengkases informasi-informasi penting tersebut. Padahal, ketika para petani, sesuai dengan kapasitas mereka, belum mampu mengakses informasi dari luar, peran penyuluh pertanian sangat dibutuhkan, para penyuluh bisa “menjembatani” mereka untuk bisa mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan.
Andai saja semua penyuluh mau dan mampu mengakses informasi harga pasar, kebutuhan pasar dan juga data luas areal tanam di daerah lain pada periode-periode tertentu, kemudian menyampaikannnya kepada petani, setidaknya akan bisa membantu petani dalam mengatur pola dan jadwal tanam mereka, dan ini akan bisa meminimalisir kerugian petani akibat fluktuasi harga komoditi pertanian.
Itulah kondisi riil yang terjadi saat ini, dilema yang dialami oleh para petani terkait dengan lemahnya “bargaining posisition” merega dalam hal penetuan harga produk pertanian yang mereka hasilkan, ditengarai akibat masih lemahnya petani dalam mengakses informasi. Begitu juga dengan para penyuluh ya, selama ini juga belum terlihat aktif untuk mengakses informasi yang sejatinya sangat dibutuhkan oleh petani.
Kondisi seperti ini harus segera diperbaiki, jika ingin petani kita mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Harus ada dorongan motivasi dan fasilitasi dari pihak-pihak terkait agar para petani, lebih-lebih para penyuluh untuk mau dan mampu mengakses informasi dari dunia luar, tanpa mengusai informasi, kita akan terus tertinggal.
Selain masalah pemasaran hasil pertanian, tenknologi informasi juga bisa dimanfaatkan untuk mengakses informasi tentang teknologi budidaya, pengendalian hama dan penyakit tanaman, peningkatan kualitas produk pertanian, dan informasi penting lainnya yang sangat bermanfaat untuk menunjang aktifitas usaha tani. Sealin itu, kemapuan petani mengakses informasi, juga dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan produk-produk pertanian yang sudah mereka hasilkan, potensi yang dimiliki oleh kelompok tani, bahkan menjadikan areal pertanian mereka sebagai destinasi wisata agro, yang kesemuanya akan bermuara pada penaingkatan pendapatan petani.
Kesimpulannya, di era globalisasi seperti saat ini, akses informasi juga menjadi salah satu penentu dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani yang tidak bisa ditawar lagi, dan semua pihak harus peduli dengan ini. Karena kita tentunya tidak ingin mendengar lagi keluhan petani karena cabe, tomat, kentang, bawang merah, kol dan komoditi lain yang mereka usahakan selama ini, harganya selalu mengalami fluktuasi yang berdampak pada kerugian petani. Selain aspek budidaya, akses informasi akan menjadi bagian dari solusi yang dihadapi petani selama ini.
Dan inilah yang selama beberapa hari belakangan ini intens saya sampaikan kepada para petani melalui kegiatan Kursus Tani yang digelar di semua BPP yang ada di kabupaten Aceh Tengah beberapa waktu yang lalu. Tujuannya tidak lain, agar para petani dan juga para penyuluhnya mulai familiar untuk mengakses informasi yang sangat berguna menunjang aktifitas usaha tani mereka,. Sehingga bargaining positioan mereka semakin meningkat, yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.
Semoga tulisan kecil ini bisa menjadi masukan bagi para pemangku kebijakan di daerah ini, juga bagi daerah-daerah lainnya yang memiliki kondisi sama.
*)Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah.