- Oleh Putri
- Jumat, 22 November 2024 | 10:15 WIB
: Foto: Kemenkes
Oleh Putri, Jumat, 22 November 2024 | 10:09 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 130
Jakarta, InfoPublik - Resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) menjadi tantangan serius yang mengancam kesehatan global, ketahanan pangan, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Menyadari urgensinya, Kementerian Kesehatan pun menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam pengendalian AMR.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Azhar Jaya, dalam Seminar Sehari bertema "Collaborative and Participatory Action in Tackling AMR" yang digelar bersamaan dengan Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba (WAAW) pada Kamis (21/11/2024).
“Pengendalian AMR harus dilakukan bersama dan bersatu padu. Pemerintah, tenaga kesehatan, akademisi, industri farmasi, serta masyarakat memiliki peran strategis dalam mengatasi masalah ini,” ujar Azhar.
AMR terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit mampu bertahan terhadap senyawa antimikroba, termasuk antibiotik. Hal ini mengurangi efektivitas obat, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah kondisi pasien, hingga berujung pada kematian.
Data global menunjukkan, pada tahun 2019 hampir lima juta kematian dikaitkan dengan AMR, termasuk 1,27 juta kematian langsung akibat AMR. Di Indonesia, AMR menjadi tantangan besar di fasilitas kesehatan karena menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan kesehatan.
“AMR bukan hanya ancaman kesehatan manusia, tetapi juga berdampak pada kesehatan hewan, ikan, dan tumbuhan. Ini adalah masalah lintas sektor yang memerlukan pendekatan terpadu,” tambah Azhar.
Dalam seminar ini, Azhar memaparkan lima langkah strategis yang harus diperkuat untuk menghadapi AMR, yaitu pertama penguatan sistem surveilans AMR untuk memantau pola resistansi dan tren penggunaannya. Kedua pengendalian penggunaan antimikroba melalui pengawasan ketat dan regulasi yang efektif.
Kemudian ketiga pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan, termasuk penggunaan alat pelindung diri dan sterilisasi yang tepat. Keempat edukasi dan promosi kesehatan kepada masyarakat dan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya AMR. Kelima inovasi dan penelitian untuk menemukan solusi baru dalam terapi antimikroba.
“Diharapkan seminar ini mampu menghasilkan rekomendasi dan aksi nyata yang dapat diimplementasikan, baik di tingkat nasional maupun global,” ujar Azhar.
Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba (WAAW) tahun 2024 mengusung tema “Educate, Advocate, Act Now” atau "Edukasi, Advokasi, dan Bertindak Sekarang". Tema ini mengajak seluruh komunitas global untuk pertama mengedukasi pemangku kepentingan tentang bahaya AMR. Kedua melakukan advokasi untuk meningkatkan komitmen politik dan kebijakan. Ketiga mendorong aksi nyata di setiap level, mulai dari individu hingga institusi, untuk mengatasi AMR.
Azhar pun menekankan bahwa edukasi masyarakat menjadi kunci dalam mencegah penggunaan antimikroba yang tidak tepat, seperti penggunaan antibiotik tanpa resep dokter.
Dalam upaya melawan AMR, peran kolaborasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan tenaga kesehatan, akademisi, hingga sektor industri.
“AMR adalah ancaman global yang membutuhkan aksi kolektif. Kita harus memperkuat sinergi di semua sektor untuk memastikan masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan,” pungkas Azhar.