Kemenkes Minta Perkuat Pengawasan pada Distribusi Antibiotik

: Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lucia Rizka Andalucia dalam Seminar Sehari bertema “Collaborative and Participatory Action in Tackling Antimicrobial Resistance (AMR)” dan Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba (WAAW)/Foto: Kemenkes


Oleh Putri, Jumat, 22 November 2024 | 09:48 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 201


Jakarta, InfoPublik - Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan,  Lucia Rizka Andalucia menjelaskan Indonesia masih memiliki tantangan berat karena sebanyak 22,1 persen masyarakat menggunakan antibiotik oral yang sangat mudah didapatkan.

Hal tersebut disampaikannya dalam Seminar Sehari bertema “Collaborative and Participatory Action in Tackling Antimicrobial Resistance (AMR)” dan Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba (WAAW) pada Kamis (21/11/2024).

"Baik itu bentuknya tablet atau sirup yang akan diberikan pada anak-anak. Dari angka itu, sebanyak 41 persen diantaranya memperoleh antibiotik tanpa resep," kata Rizka.

Ia pun menekankan pentingnya pengawasan distribusi antimikroba disarana pelayanan kesehatan seperti apotek.

Pasalnya, lebih dari 60 persen masyarakat di Indonesia memperoleh antibiotik tanpa resep di apotek dan toko obat berizin, yang seharusnya tidak menjual antibiotik tanpa resep.

Kondisi ini membuat Direktorat Jenderal Kefarmasian Kemenkes harus bekerja keras untuk menertibkan pendistribusian antimikroba pada sarana pelayanan kesehatan, secara khusus di apotek.

Dia menambahkan, masyarakat juga bisa mendapatkan antibiotik dari tempat yang tidak sesuai seperti warung, platform daring, atau tempat-tempat lain yang tidak sesuai dengan pendistribusian antimikroba tersebut.

Untuk itu, Rizka mengatakan pemerintah membutuhkan dukungan pihak lain dalam pengawasan distribusi antimikroba di masyarakat.

Upaya untuk mendukung program pengendalian resisten antimikroba (AMR) di Indonesia meliputi peningkatan akses pelayanan kefarmasian, peningkatan mutu pelayanan kefarmasian, dukungan terhadap program pengendalian resistansi antimikroba, pengembangan inovasi dan teknologi, serta monitoring dan evaluasi.

“Melalui kolaborasi, kerja sama, sinergi dan komitmen bersama, kita wujudkan akses yang merata dan pelayanan kefarmasian berkualitas untuk mendukung penggunaan antimikroba yang bijak, demi masa depan kesehatan yang lebih baik bagi Indonesia,” kata Rizka.

Tingkat kesadaran terhadap bahaya AMR masih rendah apabila dikaitkan dengan penggunaan antibiotik yang semakin meningkat dan kepatuhan pemeriksaan mikrobiologi yang menurun.

Hal ini agar masyarakat dan pemangku kepentingan berpartisipasi mengendalikan AMR dengan cara pencegahan penyebaran penyakit infeksi melalui hygiene, sanitasi, dan pengendalian penggunaan antibiotik.

Resistansi antimikroba memang tidak kasat mata, tetapi dampaknya nyata dan sudah di depan mata. Bisa jadi, korban AMR adalah keluarga, saudara, atau teman kita.

Untuk itu, Kemenkes berkomitmen untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk kementerian/lembaga, dinas kesehatan, asosiasi fasilitas layanan kesehatan, organisasi profesi kesehatan.

Kemudian, mitra pembangunan, industri farmasi, organisasi masyarakat, para penyintas AMR, influencer, dan media untuk mencegah dan mengendalikan AMR.

 

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Putri
  • Kamis, 21 November 2024 | 15:39 WIB
Pemerintah Fokus Percepat Penanganan Dampak Erupsi Gunung Lewotobi