- Oleh MC PROV RIAU
- Selasa, 26 November 2024 | 00:37 WIB
: Kemen PPPA menyelenggarakan rapat pendalaman dua rancangan undang-undang usulan Kemen PPPA dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2025-2029 bersama para pemangku kepentingan dari Kementerian/Lembaga sebagai upaya memperkuat pelaksanaan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di tataran kebijakan. Foto : Kemen PPPA
Oleh Dian Thenniarti, Sabtu, 12 Oktober 2024 | 18:41 WIB - Redaktur: Untung S - 317
Jakarta, InfoPublik – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengusulkan dua rancangan undang-undang (RUU) untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2025-2029. Usulan ini bertujuan memperkuat kebijakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Indonesia.
Kemen PPPA menyelenggarakan rapat pendalaman dua RUU usulan tersebut bersama para pemangku kepentingan dari berbagai Kementerian/Lembaga untuk menghimpun masukan yang lebih mendalam. Dua RUU yang diusulkan adalah RUU tentang Kesetaraan Gender dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
"RUU tentang Kesetaraan Gender dan RUU tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2012 diusulkan sebagai upaya kami untuk memperkuat pelaksanaan kebijakan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak," ujar Plt. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu, Sabtu (12/10/2024).
Titi menjelaskan bahwa RUU tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2012 diperlukan karena masih terdapat kendala dalam implementasi peraturan tersebut. Perubahan sistem hukum, seperti pengesahan UU No.22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, turut mempengaruhi pelaksanaan kebijakan perlindungan anak.
Di sisi lain, RUU tentang Kesetaraan Gender juga penting untuk memastikan perempuan mendapatkan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang seimbang dalam pembangunan. "RUU ini telah beberapa kali masuk dalam Prolegnas dan sangat kami upayakan, mengingat belum semua perempuan dapat menikmati kesetaraan dalam berbagai bidang pembangunan," ungkap Titi.
Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dinilai tidak cukup efektif karena hanya mengikat lembaga eksekutif. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih kuat dan mengikat seluruh penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, juga menekankan pentingnya landasan hukum yang jelas untuk mewujudkan kesetaraan gender. "RUU Kesetaraan Gender diharapkan menjadi instrumen untuk memastikan penyelenggara negara dan seluruh sektor tidak diskriminatif serta ramah gender," ujarnya.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, menambahkan bahwa kesenjangan gender masih terlihat jelas dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG). Untuk memperkecil gap tersebut, dibutuhkan regulasi yang kuat agar semua sektor dapat berpartisipasi aktif dalam mencapai kesetaraan.
Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kemenko PMK, Imron Rosadi, mendukung revisi UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk mewujudkan perlindungan anak yang lebih efektif dan implementatif.
Ketua Kelompok Kerja Sosial Budaya dan Politik, Hukum, dan HAM BPHN, Septyarto, turut mendorong pendalaman materi dan penguatan argumentasi terkait dua RUU tersebut agar dapat disusun sesuai kebutuhan masyarakat dan selaras dengan pembangunan nasional.
Diharapkan dengan adanya kedua RUU ini, perlindungan perempuan dan anak di Indonesia dapat semakin kuat, dan kesetaraan gender dapat terwujud melalui kebijakan yang komprehensif dan inklusif.