PPATK Berkomitmen Perangi Kejahatan Eksploitasi Seksual Anak

: Foto: Istimewa


Oleh Isma, Rabu, 7 Agustus 2024 | 14:09 WIB - Redaktur: Untung S - 205


Jakarta, InfoPublik - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selalu berkomitmen mendukung segala upaya memerangi kejahatan eksploitasi seksual anak sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki.

Bahkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menempatkan upaya menangani kejahatan eksploitasi seksual anak sebagai salah satu prioritas utama.

Hal itu tercermin dari terbangunnya kerja sama erat antara PPATK dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam bentuk penandatanganan Nota Kesepahaman serta Perjanjian Kerja Sama di antara kedua lembaga untuk memerangi kejahatan seksual anak.

Demikian disampaikan Koordinator Kelompok Hubungan Masyaraka PPATK M. Natsir Kongah dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (7/8/2024).

Data yang terhimpun di 2024 mencatat sekitar 303 kasus anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, 128 anak Korban perdagangan, dan 481 anak Korban pornografi di Indonesia.

Di sisi lain, dugaan prostitusi anak berjumlah sekitar 24.000 anak di rentang usia 10-18 tahun dengan frekuensi transaksi mencapai 130.000 kali dan nilai perputaran uang mencapai Rp127.371.000.000.

“Upaya PPATK memerangi kejahatan eksploitasi seksual anak tidak hanya dituangkan dalam lingkup domestik, tetapi juga regional yang meliputi wilayah Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, hingga Pasifik,” ujar Natsir.

Dalam pertemuan tahunan Financial Intelligence Consultative Group (FICG) yang diselenggarakan di Melbourne, Australia, pada Mei 2024, delegasi PPATK mengajukan proposal penyusunan indikator red flag transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan kejahatan eksploitasi seksual anak. Gagasan ini disetujui dan menjadi bagian dari project strategis FICG pada periode 2024-2025.

FICG sendiri merupakan kelompok kerja yang menghimpun lembaga intelijen keuangan di wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, dan berperan krusial dalam upaya anti-pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, dan kejahatan keuangan terkait lainnya.

Data Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang terkait dengan kejahatan eksploitasi seksual anak mencapai 44 LTKM selama periode 2014-2024.

Adapun terkait dengan Hasil Analisis (HA), terdapat 2 HA PPATK yang terkait dengan eksploitasi seksual anak pada 2023; 34 HA pada tahun 2021 dan 2 HA pada 2023 yang terkait dengan Perlindungan Anak, Pornografi, Perdagangan Orang, Informasi dan Transaksi Elektronik, Child Sex Exploitation, dan/atau Kejahatan Lintas Negara Lainnya; dan 1 HA pada tahun 2021 yang terkait dengan Perdagangan Orang, Pornografi, ITE, dan Perlindungan Anak.

Temuan aktivitas perdagangan orang di Indonesia pada 2022, termasuk eksploitasi seksual anak di dalamnya, mencatat perputaran uang sejumlah Rp114 miliar.

Dalam konteks regional, PPATK bersama dengan seluruh pemangku kepentingan yang relevan telah melaksanakan Focus-Group Discussion guna memformulasikan draf Concept Note dan Kuesioner yang akan bermuara pada output berupa dokumen indikator red flag transaksi keuangan mencurigakan yang berkaitan dengan kejahatan eksploitasi seksual anak.

Proses ini akan melibatkan partisipasi aktif dari penyedia jasa keuangan yang terdiri atas perbankan, penyelenggara transfer dana (money remittance), penyelenggara dompet elektronik (e-wallet), dan pedagang fisik aset kripto (exchanger), termasuk juga lembaga intelijen keuangan, penegak hukum, dan pakar di bidang anti-eksploitasi seksual anak. Draf pertama dokumen ditargetkan selesai pada November 2024.

“PPATK sangat berharap upaya memerangi kejahatan seksual anak menjadi komitmen bersama seluruh pihak, termasuk juga melibatkan peran aktif seluruh komponen masyarakat. Eksploitasi seksual anak memiliki dampak destruktif yang nyata dan mengancam kelangsungan hidup generasi penerus bangsa. Karena kejahatan ini cenderung bersifat lintas negara, kerja sama yang solid antara seluruh pihak di lingkup regional hingga internasional adalah suatu keniscayaan,” tutur Natsir.

Data Interpol pada Juni 2024 menyebut kaitan 69 negara yang terlibat dalam jejaring eksploitasi seksual anak. Karena itulah, keberadaan forum seperti Konferensi ASEAN ini menjadi suatu langkah krusial guna makin memperkuat komitmen dan kerja nyata seluruh pihak yang terlibat.

Menurut Laporan Financial Intelligence Alliance, Eksploitasi Seksual pada Anak (ESA) dimungkinkan karena adanya transaksi finansial antara pelaku dan korban, antara pelaku dan fasilitator/mucikari atau antara pelaku dan pemasok (pembelian konten-konten materi kekerasan/eksploitasi seksual anak). Transaksi-transaksi ini terjadi karena adanya kemudahan dalam pemanfaatan teknologi finansial yang saat ini banyak dikembangkan oleh jasa penyedia keuangan di ranah global. Diperlukan kecerdasan finansial dalam mendeteksi dan menghentikan eksploitasi seksual terhadap anak pada sektor keuangan.

Kejahatan eksploitasi seksual anak, termasuk perdagangan anak untuk tujuan seksual, diketahui menghasilkan keuntungan yang cukup besar. International Labour Organization memperkirakan totalnya keuntungan yang diperoleh dari penggunaan kerja paksa, termasuk eksploitasi seksual adalah sebesar USD150,2 miliar per tahun. Menurut ILO, total keuntungan tahunan berada pada batasnya tertinggi di Asia (USD51,8 miliar) dan negara maju (USD46,9 miliar) pada 2014. Penyebabnya adalah tingginya jumlah korban di Asia dan besarnya keuntungan per korban di negara maju.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya transaksi keuangan sebesar Rp114 miliar terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan pornografi anak di tahun 2022, yang mana kedua kejahatan termasuk ke dalam bentuk kejahatan eksploitasi seksual anak. Pelacakan PPATK tersebut berhasil diungkap melalui aktivitas transaksi perbankan.

PPATK menyatakan banyak pelaku pornografi anak menggunakan dompet digital/e-wallet untuk pembayaran konten. Para pelaku dari eksploitasi seksual anak ini bukan hanya berasal dari wilayah Indonesia saja, namun juga berasal dari luar negeri, mereka mencari konten-konten eksploitasi seksual anak di Indonesia dan melakukan pembayaran dengan menggunakan bank-bank dan penyedia jasa keuangan lainnya yang bisa mereka gunakan untuk mengirimkan uang tersebut.

ECPAT Indonesia berkolaborasi dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) dengan dukungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta ASEAN Secretariat, menyelenggarakan Konferensi ASEAN tentang Pencegahan dan Respon terhadap Penyalahgunaan Penyedia Jasa Keuangan dalam Eksploitasi Seksual Anak, di Bali pada 7 s/d 8 Agustus 2024.

Konferensi ASEAN juga mendapat dukungan dari lembaga-lembaga yang memiliki kepedulian pada perlindungan seperti Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), OUR Rescue Indonesia dan Yayasan Kasih Yang Utama (YKYU).

Tujuan utama Konferensi ASEAN adalah untuk :

  • Meningkatkan kesadaran mengenai penyalahgunaan penyedia jasa keuangan dalam kejahatan eksploitasi seksual anak,
  • Menjelaskan situasi dan mengeksplorasi bagaimana negara-negara ASEAN merespon dan mengatasi masalah kritis ini.
  • Melibatkan banyak pemangku kepentingan dalam diskusi dan menjadikan partisipasi mereka sebagai fokus utama agar mendapatkan formula yang tepat dalam mengatasi permasalahan ini.
  • Mendapatkan praktik baik dari negara-negara di kawasan ASEAN dalam mengatasi penyalahgunaan penyedia jasa keuangan untuk kejahatan eksploitasi seksual anak.

Untuk mengidentifikasi dan menghentikan eksploitasi seksual anak di negara-negara ASEAN maka diperlukan pendekatan bersama dengan pemerintah, industri (penyedia jasa keuangan), dan masyarakat luas. Perlu adanya Rencana Aksi Regional untuk Perlindungan Anak dari Segala Bentuk Eksploitasi Seksual di ASEAN, dan hal tersebut memerlukan beberapa langkah-langkah yang harus segera dilaksanakan oleh Negara Anggota ASEAN seperti:

  • Menyusun instrumen hukum bagi perusahaan sektor swasta untuk melaporkan dan menghapus materi kekerasan seksual anak dari platform dan layanan mereka ketika mereka menyadarinya; dan untuk penyedia jasa keuangan diwajibkan melaporkan transaksi mencurigakan yang mungkin terkait dengan materi kekerasan seksual anak, dan para negara-negara anggota ASEAN akan mendorong dan mengenakan tanggung jawab secara pidana dan perdata bagi penyedia jasa keuangan yang tidak patuh.
  • Memobilisasi dan meningkatkan keterlibatan dengan sektor swasta dan pemangku kepentingan terkait lainnya untuk secara aktif terlibat dalam pemantauan, pencegahan dan respon melalui peraturan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan kolaborasi untuk pengembangan langkah-langkah efektif untuk mendeteksi, menghapus, dan melaporkan konten ilegal terkait seksual anak penyalahgunaan dan eksploitasi.
  • Membangun kemitraan yang solid antara pemerintah, penegak hukum dan lembaga-lembaga sektor swasta untuk berbagi informasi terkait dengan materi kekerasan seksual anak yang terjadi diwilayah ASEAN dan membantu penyedia jasa keuangan untuk mengidentifikasi dan melaporkan transaksi yang mencurigakan terkait eksploitasi seksual anak.

Sejumlah pembicara dengan beragam latar belakang hadir menyampaikan paparannya dalam konferensi ini, diantaranya Tom Blissende dari AUSTRAC (Australian Transaction Reports and Analysis Centre) di Australia, Diana Soraya NOOR dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) di Indonesia, Tori Hill dari Western Union, Mattias Bryneson dari ECPAT International, R. Rinto Teguh Santoso dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan), John Carr dari UK's Children's Charities' Coalition on Internet Safety (CHIS), Smita Mitra dari Crimes Against Children Unit Interpol, Lance P. Lueck dari OUR Rescue Indonesia, Yanti Kusumawardhani dari ACWC dan Zoelda Anderton dari UNODC.