:
Oleh G. Suranto, Selasa, 28 September 2021 | 18:41 WIB - Redaktur: Untung S - 106
Jakarta, InfoPublik – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, menyebutkan sudah 40 persen sekolah sudah mulai melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas, walaupun itu masih angka yang masih sangat kecil.
“Kalau kita nggak mau PTM, semakin ketinggalan lagi. Anak-anak harus pembelajaran tatap muka dengan protokol kesehatan yang teraman yang bisa kita lakukan di masing-masing daerah,” kata Menteri Nadiem pada acara Talkshow Inspiratif #BangkitBareng yang disiarkan secara daring di Jakarta, Selasa (28/9/2021).
Disebutkan, sebelum pandemi sebenarnya kita sudah ketinggalan kalau melihat angka dari PISA (Programme for International Student Assesment), jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, dan negara-negara lain di bidang numerasi, literasi dan sains.
“Pada saat pandemi, ini kondisi memperburuk terutama untuk daerah-daerah di mana tingkat sosial ekonomi itu masih rendah, dan akses internet, akses pegawai, itu semuanya memperburuk kesetimpangan tersebut. Dan kita menganalisa, baik dari Kemendikbudristek maupun Bank Dunia, dan institut-institut riset lainnya, telah menemukan bahwa ada kemungkinan besar kita kehilangan antara 0,8 sampai 1,2 tahun pembelajaran. Jadi seolah-olah itu, satu generasi kehilangan hampir setahun daripada pembelajaran di masa ini,” ujarnya.
Untuk itu, kata Menteri Nadiem, tentunya harus didalami terus dan dikaji, dan melihat dampaknya seperti apa? Apakah dampaknya akan permanen apa tidak, tapi salah satu hal yang menjadi khawatir sekarang adalah kalau misalnya PJJ ini terus berlangsung, seberapa permanen dampak ini, dan bukan hanya dampak dari learning loss, banyak orang semuanya takut dengan learning loss, tapi ada dampak lain yang sama potensi resikonya yaitu dampak psikis daripada murid-murid, banyak anak-anak yang kesepian, banyak anak-anak yang secara emosional trauma dengan situasi ini, orang tua juga stres di rumah, dan menyebabkan berbagai macam isu dan tension antara orang tua dan anak-anaknya.
“Jadi dampak psikologis, dampak kesepian, itu juga menjadi bagian dari pada kemampuan anak-anak kita untuk menjadi terbuka terhadap pembelajaran. Jadi itu sangat berdampak kondisi emosional dan kondisi kognitif, itu bukan dua hal yang berbeda, tapi itu nyambung dalam anak-anak. Jadi ini merupakan suatu hal yang sangat menghawatirkan,” paparnya.
Oleh karena itu, Menteri Nadiem telah berkunjung ke berbagai daerah, agar daerah segera melaksanakan PTM terbatas. “Saya kadang marah, setiap kali ada berbagai daerah yang mungkin koneksi internet saja tidak ada, gawe saja tidak ada, dan sekolah-sekolah itu diperbolehkan PJJ, berarti tidak sekolah. Harusnya, setiap masing-masing daerah tidak melakukan itu, kalau sekolah itu tidak bisa melakukan PJJ, harusnya dicarikan solusinya dari dulu,” ujarnya.
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, sekarang semua hal yang dilakukan atau yang dilakukan Kemendikbudristek sebelum pandemi itu, malah menjadi prioritas. “Jadi tadinya sebelum pandemi, kita sudah tahu nih kita harus menggunakan berbagai macam filsafat Ki Hajar Dewantara untuk Merdeka Belajar untuk kembali ke kejayaan kita dulu, di sistem Pendidikan kita yang selama periode tertentu lumayan bagus, benar-benar memerdekakan rakyat, benar-benar memerdekakan pikiran kita, dan sekolah-sekolah punya otonomi yang relatif baik, tapi birokrasi dan administrasi pendidikan mulai menjajah sekolah-sekolah kita selama beberapa puluh tahun terakhir,” urainya.
“Jadi ini suatu hal yang mau kita merdekakan, tapi karena pandemi, urgensi daripada ini menjadi lebih penting. Saya kasih contoh, bagaimana kita akan mengejar ketertinggalan di numerasi dan literasi, kalau kurikulum kita memaksa semua sekolah, dan semua guru untuk mengajar semuanya. Semua jenis standar pencapaian, semua mata pelajaran, semua topik pembelajaran, tidak mungkin kita akan bisa mengejar ketertinggalan, kalau guru-gurunya kita pun tidak punya diskresi untuk memilih, saya mau fokus di sini, saya mau fokus mana yang paling conditional, mana yang paling ketinggalan dan lain-lain,” kata Menteri Nadiem.
Jadi ini logika, sangat sederhana kalau kita mengejar semuanya, kita nggak bisa mengejar ketertinggalan itu. Salah satu contoh bagaimana fleksibilitas dalam kurikulum yang memperbolehkan guru untuk mundur 1 tahun 2 tahun, kalau dia mau atau lebih cepat 1 tahun 2 tahun memperbolehkan guru dan kepala sekolah, untuk memilih berapa presentase waktu untuk focus mengejar ketertinggalan, mungkin murid-murid yang mau dibagikan kelas berdasarkan kompetensi dan berapa level ketinggalan mereka itu.
“itu adalah aspek-aspek yang sangat penting sekarang. Kedua adalah digitalisasi sekolah kita menyediakan berbagai macam platform. Sekarang kita punya kreatif teknologi yang bekerja di Kemendikbudristek, dan kita akan membuat berbagai macam Supra X nya untuk pendidikan untuk digunakan guru, dan kepala sekolah. Tanpa sekolah-sekolah ini punya TIK nya, tanpa punya alat koneksi internet, nggak punya laptop untuk menggunakannya, nggak punya projector untuk mempresentasikan materi materi yang mereka dapatkan, kesenjangan ini bakal terus saja,” ujarnya.
Jadi digitalisasi sekolah dan pemberian TIK kepada sekolah itu adalah suatu equalizer yang sangat penting, suatu pengimbang yang sangat penting. Walaupun di daerah mana pun, mereka punya akses yang sama Informasi, konten yang sama. Mereka benar-benar memerdekakan akses ke konten, tentunya untuk mengejar ketertinggalan, salah satu yang terpenting harus tambah pasukan.
“Inilah kita keluar, nggak mungkin guru itu bisa memberikan one mentoring kepada murid-murid, mereka harus mengajar 1 (satu) kelas penuh. Jadinya kita membuat Program Kampus Merdeka, namanya Kampus Mengajar untuk puluhan ribu mahasiswa berbakat, untuk turun ke desa-desa, ke daerah-daerah, untuk membantu guru-guru SD dan SMP, untuk membantu anak-anak yang paling ketinggalan,” paparnya.
Bagaimana memberikan mereka bimbingan belajar gratis, untuk mengejar ketinggalan di numerasi, literasi, dan juga pendidikan karakter. “Jadi ada kombinasi dari beberapa faktor diluar semua program yang tadinya mau dijalankan juga sebelum pandemi yang harus diakselerasi dan tambahan pasukan, tambahan urgensi untuk melakukan perubahan tersebut, dan poin terakhir adalah salah satu yang terpenting untuk mengejar ketertinggalan adalah untuk mengetahui ketertinggalan ini sampai mana.
“itulah makanya Ujian Nasional, kita hilangkan dan digantikan ke asesmen nasional yang fokusnya itu untuk mengukur numerasi, literasi dan juga karakter Pancasila. Dari sinilah kita pertama kalinya bisa benar-benar melihat dan memetakan per sekolah mana yang paling membutuhkan bantuan kita, mana yang paling ketinggalan, mana yang tidak terlalu ketinggalan, dan kenapa mereka ketinggalan, dan kenapa mereka tidak ketinggalan, dan yang ketinggalan itu bisa dibantu oleh kita,” tuturnya.
“Jadinya pemetaan pertama kali ini yang sedang dilakukan sekarang anak-anak di SD, SMP dan SMA sekarang. Inilah menjadi bestline kita untuk mengetahui secara detil, sebenarnya siapa sih yang paling ketinggalan, dan siapa yang butuh bantuan kita paling besar. Jadinya mengukur keberhasilan dan mengukur ketertinggalan menjadi prioritas utama tahun ini,” ungkapnya.