JPPI Ungkap Tujuh Dilema Pendidikan di Indonesia

:


Oleh Yudi Rahmat, Selasa, 2 Mei 2017 | 16:01 WIB - Redaktur: Juli - 832


Jakarta, InfoPublik - Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional 2017, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ada tujuh masalah pendidikan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah dalam mewujudkan nawacita bidang pendidikan.

JPPI menyampaikan, tujuh agenda prioritas Presiden RI Joko Widodo dalam Nawacita salah satunya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan mutu pendidikan.

"Berbagai langkah sudah dilakukan oleh pemerintah, tapi tampaknya masih ada  tujuh celah yang harus terus diperbaiki, terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana yang dicita-citakan," kata Koordinator Nasional JPPI  A. Ubaid Matraji di Jakarta, Selasa (2/5).

Pertama menurutnya adalah, nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun ini masih di persimpangan jalan. Sebab, tidak ada  payung hukum, dan tidak ada perbincangan soal realisasi terkait program ini, hingga 2015.

"Sepanjang tahun 2016-2017, tidak ada lagi perbincangan dan langkah untuk mewujudkan hal tersebut," ujar Ubaid.

Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami kenaikan. Hal ini dipicu maraknya pungutan liar di jenjang MA/SMK/SMA. Banyak kabupaten/kota yang dulu sudah menggratiskan SMA/SMK, tapi kini resah, karena banyak provinsi yang membolehkan sekolah untuk menarik iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran untuk pendidikan.

"Alih wewenang pengelolaan jenjang sekolah menengah ini tidak menjawab kebutuhan wajar 12 tahun, tapi hanya peralihan wewenang yang justru menimbulkan masalah baru," ungkapnya

Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi dan dibenahi, baik metode pembelajarannya maupun gurunya. Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (Des 2016), terdapat 78 persen guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di sekolah setuju jika berdasarkan syariat Islam, dan 77 persen guru PAI mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.

Menurutnya, hal ini merupakan cara pandang yang berbahaya bagi keutuhan NKRI. "Jika dibiarkan, benih-benih intoleran dan sikap keagamaan yang radikal akan tumbuh subur di sekolah," katanya

Keempat, masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah (diniyah). Model pendidikan ini berperan sejak dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka. Tapi, kini perannya termarginalkan karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional.

Kelima, Pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih jadi impian. Marginal di sini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Menurutnya Angka putus sekolah didominasi oleh kedua kelompok tersebut. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program tersebut.

Keenam, kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Potret buram pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh kasus kekerasan di sekolah dan pengaduan pungli.

Dikatakan, ,modus kekerasan ini sudah sangat rumit untuk diurai, karena para pelakunya dari berbagai arah.

Ketujuh, ketidak-sesuaian (mismatch) antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat ini ada lebih dari 7 juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan.