Kepala BPPT: Kemandirian Teknologi Masih Penuh Tantangan

:


Oleh G. Suranto, Kamis, 19 Januari 2017 | 05:09 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 929


Jakarta, InfoPublik - Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto mengatakan, kemandirian suatu bangsa membutuhkan penguasaan teknologi dan inovasi. Namun sayangnya inovasi anak bangsa masih sulit menembus industri di dalam negerinya.

“Untuk itu, perlu usaha yang luar biasa agar inovasi karya anak bangsa bisa diterima dan diproduksi secara massal di negerinya sendiri,” kata Unggul dalam acara Media Gathering BPPT 2017 yang dilangsungkan di Gedung II BPPT, Jakarta, Rabu (18/1).

Dirinya mencontohkan, inovasi BPPT berupa garam farmasi yang baru saja diproduksi lokal oleh PT Kimia Farma selaku mitra BPPT. Untuk bisa diterima industri sampai diproduksi masal seperti saat ini, dibutuhkan waktu hampir 20 tahun.

Disebutkan, selama ini hampir 99 persen bahan baku obat, seperti garam farmasi harus diimpor dari luar, padahal bahan baku seperti garam farmasi ini sangat mendasar dalam industri farmasi, khususnya untuk bahan baku infus.

Tidak hanya garam farmasi, kata dia, BPPT juga sepanjang tahun 2016 sukses membuat dan menguji coba sistem Automatic Dependent Surveillance Broadcast (ADS-B) untuk navigasi pesawat terbang. Bahkan teknologi ini sudah digunakan di Bandara Ahmad Yani Semarang. Mirisnya, lanjut Unggul, teknologi tinggi karya anak bangsa itu belum bisa diproduksi massal kendati pihaknya sudah mencoba menggandeng industri dalam negeri.

“Kendalanya adalah radar tersebut belum tersertifikasi, hingga saat ini pihaknya bersama pemangku kebijakan terkait pun tengah berupaya menyusun regulasinya,” ujarnya.

Ia menambahkan, selain biaya, regulasi dan kebijakan yang tidak berpihak pada pengembang industri memang menjadi momok bagi inovasi teknologi di Indonesia. Ia mencontohkan, seperti inovasi ADS-B tersebut. Kendati sudah teruji tetap sulit diproduksi karena regulasinya tidak ada.Padahal banyak bandara di Indonesia yang belum memiliki radar, khususnya di kawasan Timur.

Selain aturan, belum ada kebijakan yang berpihak pada inovasi teknologi di dalam negeri. Misalnya pemberlakuan insentif pajak dan kewajiban bagi BUMN untuk mengutamakan teknologi anak bangsa jika teknologinya sudah ada disini.

Kendala lain penyebab rendahnya serapan teknologi adalah rendahnya anggaran riset Indonesia. Anggaran riset Indonesia hanya 0,09 persen dari PDB nasional. Padahal Vietnam saja sudah mencapai 0,39 persen, Malaysia 1,1 persen dan Singapura 2 persen. Unesco sendiri sudah merekomendasikan agar anggaran riset suatu negara idealnya 2 persen.

“Berbagai inovasi sudah dilakukan, tetapi serapan teknologi dan inovasi anak bangsa yang dipakai industi nasional masih di bawah 3 persen. Industri lokal masih lebih senang membeli teknologi asing,” tandasnya.