Program JHT, Bentuk Perlindungan Pekerja Ketika Pensiun

:


Oleh H. A. Azwar, Selasa, 29 November 2016 | 09:58 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 909


Filosofi program Jaminan Hari Tua adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, tidak ingin bekerja kembali, mengalami cacat total tetap, sehingga tidak mampu bekerja kembali atau meninggal dunia.

Program investasi JHT ini dikelola oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan untuk melindungi pekerja atau buruh ketika memasuki masa tidak produktif atau disebut pensiun.

Kondisi program JHT saat ini, dengan diterbitkannya Permenaker Nomor 19 tahun 2015, pencairan JHT dapat dilakukan apabila pekerja berhenti bekerja dengan masa tunggu satu bulan dengan tidak mensyaratkan masa kepesertaan setiap pekerja yang berhenti bekerja dengan masa tunggu satu bulan dapat mencairkan JHT.

Akibatnya, jumlah klaim JHT meningkat secara signifikan karena dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak peserta berhenti bekerja yang meliputi: mengundurkan diri, PHK, dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Pembayaran JHT dalam jangka pendek sangat merugikan pekerja karena tidak mengedukasi pekerja untuk mempersiapkan hari tua yang layak. Selain itu, kehilangan kesempatan mendapatkan manfaat optimal akibat kepesertaan yang diulang dari awal. Juga kehilangan kesempatan mendapatkan hasil pengembangan yang memadai.

Bagi peserta aktif loyal kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hasil pengembangan yang optimal. Selain itu, juga kehilangan kesempatan memperoleh perlindungan JKK dan JK pada saat transisi (mulai dari pembayaran JHT sampai mendaftarkan kembali).

JHT menjadi sumber dana kebutuhan jangka pendek dan lebih bersifat konsumtif, serta terdapat indikasi moral hazard. Dapat menimbulkan beban pemerintah di masa mendatang (meningkatnya jumlah peserta penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan) karena pekerja cenderung menghabiskan JHT dan tidak memiliki jaminan hari tua.

Revisi Mekanisme Pencairan JHT

Mekanisme pencairan program jaminan hari tua untuk peserta BPJS Ketenagakerjaan bakal diubah kembali dengan mensyaratkan minimal kepesertaan lima tahun. Keputusan tersebut diambil dalam sidang pleno ke-2 LKS Tripartit Nasional di Ruang Tripartit Kementerian Ketenagakerjaan Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan, akhir Bulan Oktober 2016 lalu.

Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah peserta tidak bekerja atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Mekanisme tersebut tertuang dalam PP Nomor 60/2015 tentang perubahan atas PP nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelanggaraan Program Jaminan Hari Tua, serta Permenaker nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengambilan JHT.

Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri menyatakan, kedua peraturan tersebut akan direvisi secepatnya. Forum merekomendasikan perubahan skema pencairan JHT tersebut mulai dilakukan pada 1 Januari 2017 mendatang.

Intinya semua sudah bersepakat untuk mengembalikan skema JHT menjadi lima tahun satu bulan, sama seperti pada masa Jamsostek dengan UU nomor 3/1992. Konsekuensinya akan dilakukan perubahan terhadap PP maupun Permenaker yang terkait dengan itu.

Keputusan tersebut dikatakan Hanif, diambil lantaran banyaknya masukan dari penyelenggara BPJS maupun dari kalangan pekerja sendiri. Sebanyak 70 persen dari klaim JHT di BPJS dilakukan dengan alasan pengunduran diri. Selain itu ada juga perusahaan dan pekerja yang bekerjasama untuk mencairkan JHT dengan cara-cara yang tidak benar.

Keputusan seperti itu, diambil dalam rapat tripartit yang terdiri perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja. Adapun yang menandatangani keputusan tersebut adalah Menaker Hanif Dhakiri sebagai perwakilan pemerintah, anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Harijanto dan perwakilan Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB), Sumirah.

Pemerintah kata Hanif secepatnya merevisi Peraturan Pemerintah (PP)  60/2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua yang isinya pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah tidak bekerja atau sebulan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut Hanif, keputusan seperti itu diambil karena banyaknya pengaduan dari pengusaha dan pekerja sendiri. Salah satunya adalah ada pekerja yang ingin mengambil JHT, bekerja sama dengan pihak perusahaan, membuat berita acara bahwa sang pekerja yang bersangkutan berhenti bekerja. Setelah dia sudah mengambil JHT di BPJS Ketenagakerjaan baru dia bisa dipekerjakan kembali. “Nah, ini kan tidak benar,” kata Hanif.

Terkait aturan JHT unsur pemerintah, SP/SB dan pengusaha sepakat untuk mengubah aturan pengambilan JHT jadi lima tahun satu bulan, karena itu sudah sangat adil dari semua pihak.

Sementara, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi mengatakan pihaknya masih menolak rencana pengembalian skema pencairan JHT menjadi minimal lima tahun.

Ini akan menimbulkan resistensi yang lebih kencang dari teman-teman pekerja, terutama mereka yang mau mengajukan klaim JHT. Alih-alih memperketat pencairan JHT, seharusnya BPJS lebih giat merekrut peserta demi menjaga ketahanan modalnya.

Peserta BPJS Ketenagakerjaan masih sekitar 20 juta, sedangkan jumlah pekerja lebih dari 125 juta orang sehingga masih banyak peluang untuk menambah peserta, kata Ristadi.

Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan Harjanto, bahwa kalangan pengusaha mendukung keputusan tersebut. “Kami tidak ada masalah, justru malah kami mendukung kembali ke peraturan lama, yakni UU tentang SJSN. Karena sebetulnya JHT itu bisa diambil kalau sudah tua,” kata Harjanto.

Fakta Pencairan JHT

Sebanyak lima persen pekerja yang mengundurkan diri dan telah mencairkan program jaminan hari tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan saat ini telah kembali bekerja.

Dari 110.751 peserta yang bekerja kembali setelah mencairkan JHT, ternyata sebanyak 14.294 pekerja atau lebih kurang 13 persen, periode September 2015 hingga Juni 2016 telah kembali bekerja di perusahaan yang sama, sementara sisanya bekerja di perusahaan lain, sehingga tabungan masa depan mereka dihabiskan, padahal tabungan itu sangat berguna bagi mereka di masa pensiun nanti.

Kondisi ini menunjukkan fenomena bahwa pekerja tersebut sebenarnya tidak berhenti bekerja sebagaimana yang disyaratkan untuk mencairkan JHT.

Sisanya, mereka bekerja di perusahaan lain, sehingga tabungan masa tua dihabiskan di usia produktif, sementara tabungan itu diperuntukkan sebagai ‘pegangan’ di masa pensiun nanti.

Fakta lainnya, pencairan dana JHT didominasi oleh peserta dengan masa kepesertaan satu tahun hingga lima tahun dan lima tahun hingga 10 tahun, di mana para peserta tersebut berada dalam usia produktif mereka untuk bekerja. Di sisi lain, saldo JHT para pekerja berbanding lurus dengan masa kepesertaan yang mana akan dirasakan signifikan saat masa kepesertaan mencapai minimal 20 tahun.

Dilihat dari kelompok kerja, rata-rata peserta non aktif memiliki saldo yang relatif kecil dibanding kelompok kerja lainnya. Kesimpulannya adalah tenaga kerja non aktif berasal dari golongan yang memiliki upah rendah.

Di luar dinamika JHT tersebut, seluruh pekerja di Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memiliki jaminan sosial. Perlindungan menyeluruh BPJS Ketenagakerjaan akan mampu mengakomodir para pekerja di Indonesia agar merasa aman dan tenang dalam bekerja.