:
Oleh H. A. Azwar, Sabtu, 4 Juni 2016 | 20:54 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 818
Jakarta, InfoPublik - Dampak gempa bumi 6,5 SR dengan pusat gempa di laut dengan kedalaman 72 km di 79 km Barat Daya Pesisir Selatan Sumatera Barat atau 115 Barat Laut Muko-Muko Bengkulu pada Kamis (2/6) pukul 05.56 WIB menimbulkan kerusakan bangunan yang cukup banyak.
Data sementara yang dihimpun BPBD hingga saat ini terdapat 2.663 unit rumah rusak dan 103 unit kelas sekolah yang rusak di wilayah 19 kelurahan atau 16 kecamatan dari 3 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Kerinci dan Kota Padang.
Dari 2.663 unit rumah rusak terdiri dari 114 rumah rusak berat, 612 rumah rusak sedang, dan 1.905 rumah rusak ringan, kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, Jumat (3/6).
Menurut Sutopo, selain itu, dampak gempa adalah satu orang meninggal dunia atas nama Awaludin warga Kota Padang (80) akibat serangan jantung dan 18 orang luka-luka.
Korban meninggal saat merasakan guncangan gempa yang keras dan mendadak terkena serangan jantung. Sedangkan korban luka-luka sebagian besar tertimpa bangunan yang roboh dan saat lari evakuasi, ujar Sutopo.
Sutopo menambahkan, daerah yang paling parah terkena dampak gempa adalah Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat meliputi Kecamatan IV Jurai, Kecamatan Linggo Sari Baganti, Kecamatan Lenggayang, Kecamatan Ranah Pesisir, Kecamatan Pancung Soal, dan Kecamatan Ranah Ampek Hulu.
Kerusakan bangunan di Pesisir Selatan meliputi 93 rumah rusak berat, 578 rumah rusak sedang, dan 1.801 rumah rusak ringan. Sebanyak 29 unit kelas sekolah rusak berat dan 74 unit kelas rusak sedang, dan 2 kantor rusak sedang hingga berat.
Sebanyak 100 orang yang mengungsi telah kembali ke rumah masing-masing. Sebelumnya mereka mengungsi ke luar daerahnya karena takut ada gempa susulan, imbuhnya.
Sedangkan di Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu, menurut Sutopo, kerusakan rumah meliputi 20 rumah rusak berat, 31 rumah rusak sedang, dan 97 rumah rusak ringan.
Kerusakan ini tersebar di Desa Talang Petai Kecamatan V Koto, Desa Pasar Baru Kecamatan Lubuk Pinang, dan Desa Lubuk Sanai Kecamatan XIV Koto. Di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi terdapat satu rumah rusak berat, tiga rusak sedang, dan tujuh rusak ringan, ujarnya.
BPBD masih melakukan pendataan. Diperkirakan masih ada bangunan yang rusak dan belum dilaporkan karena kondisi cuaca yang sering hujan dan beberapa lokasi sulit dijangkau. Untuk penanganan lebih lanjut terkait bantuan kerusakan bangunan akan dilakukan rapat koordinasi dengan berbagai pihak.
Sutopo menyebut, banyaknya rumah dan bangunan yang rusak disebabkan oleh belum diterapkannya konstruksi bangunan tahan gempa. "Banyak rumah yang rusak tidak memiliki struktur kaku seperti beton bertulang yang jika dibuat dengan baik dapat meredam getaran gempa. Kolom-kolom dan balok pengikat yang kuat dan ditopang oleh pondasi yang baik akan dapat mengurangi kerusakan akibat gempa," tuturnya.
Selain masalah belum banyaknya rumah tahan gempa di banyak daerah di Indonesia, menurut Sutopo, menunjukkan bahwa masih tingginya tingkat kerentanan masyarakat menghadapi gempa. Building code untuk bangunan rumah atau lainnya masih sangat lemah penerapannya.
Peta bahaya gempa, bahkan peta risiko bencana gempabumi belum banyak dijadikan dasar pada saat pembangunan rumah. Kondisi ini yang menyebabkan banyaknya kerusakan bangunan akibat gempa. Masih banyak masyarakat yang tidak paham bagaimana membangun rumah tahan gempa. Begitu pula dengan tukang yang masih memiliki pengetahuan terbatas tentang rumah tahan gempa. Selain itu, juga alas an ekonomi menjadi dasar mengapa masyarakat enggan membangun rumah tahan gempa yang biayanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan rumah biasa, kata Sutopo.
Dijelaskan Sutopo, sudah cukup banyak pedoman atau panduan membangun rumah tahan gempa yang dapat dijadikan rujukan untuk membangun rumah tahan gempa. Namun pedoman ini masih belum lemah dalam implementasinya.
Perlu upaya semua pihak agar kerentanan masyarakat menghadapi gempa dapat dikurangi. Apalagi ancaman gempa berdasarkan penelitian para ahli menunjukkan adanya peningkatan. Temuan terbaru menunjukkan adanya daerah-daerah yang lebih berbahaya dari gempabumi dibandingkan sebelumnya, tukas Sutopo.