:
Oleh Yudi Rahmat, Senin, 25 April 2016 | 09:51 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 345
Jakarta, InfoPublik - Saat ini, dari 87 juta anak Indonesia, 36 juta di antaranya belum memiliki akta kelahiran. Padahal, akta kelahiran merupakan hak dasar bagi seorang anak.
“Penyisiran telah dilakukan di daerah-daerah yang tidak sulit dijangkau," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa saat menjadi keynote speaker pada Muktamar Rotary District 3410 di Hotel Crown Plaza Bandung, Jumat (22/4).
Anak-anak yang belum memiliki akta kelahiran, tidak hanya karena orangtua yang tidak memiliki dana. Tapi, ada juga karena orangtua tidak menginginkan anak tersebut, sehingga ada upaya menggugurkan sejak masa kehamilan. “Tidak hanya karena orangtua yang memiliki dana untuk mencatatkan perkawinan, juga karena kelahiran yang tidak diinginkan oleh orangtuanya,” terang Mensos.
Selanjutnya, Mensos mengatakan public private partnership (kerjasama pemerintah dan swasta) memiliki posisi strategis untuk membantu dan mengatasi berbagai permasalahan sosial di Indonesia. “Posisi strategis public private partnership salah satunya membantu mengatasi berbagai permasalahan sosial, sebab pemerintah tidak bisa bekerja sendirian,” ujar Mensos.
Misalnya, di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hasil pemetaan terdapat masalah disabilitas akibat kekurangan gizi. Upaya yang dilakukan selain meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) juga menelusuri akar permasalahnnya. “Di NTT terjadi disabilitas akibat kekurangan gizi, upaya yang dilakukan selain meningkatkan kualitas SDM juga mencari akar masalahnya,” ucapnya.
Pada saat yang sama, 85 persen anak-anak di sana belum memiliki akta kelahiran. Akta kelahiran begitu penting bagi masa depan mereka, sekaligus sebagai kelengkapan administrasi kependudukan.“Akta kelahiran begitu penting, sebab jika tidak memiliki si anak tidak bisa diterima di SDN, tidak bisa menjadi anggota Polri dan TNI, serta Pegawai Negeri Sipil (PNS),” jelasnya.
Hasil pemetaan akar masalah diketahui, bahwa semua bermula dari orangtua anak-anak yang tidak memiliki cukup dana untuk membayar belis (mahar-red) dan pemberkatan, sehingga pernikahan mereka tidak tercatat.“Terjawab sudah akar dari persoalan di sana, yaitu pernikahan yang tidak teradministrasikan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), sehingga anak-anak mereka tidak memiliki akta kelahiran,” katanya.
Pada posisi tersebut, Mensos dan jajaran Kementerian Sosial menginisiasi pertemuan dengan para pemuka agama, tokoh adat, serta tokoh masyarat. Di mana, dalam pertemuan tersebut diminta untuk belis perkawinan bisa dikonversikan dengan kitab suci. “Melalui dialog dengan suasana yang akrab dan harmonis, akhirnya bisa dilakukan belis bisa dikonversikan dengan kitab suci,” katanya.
Kemudian, didirikan posko di seluruh kabupaten/kota di NTT untuk pendaftaran dan pengadministraskan perkawinan dan pemberkatan perkawinan, serta anak-anak bisa diberikan akta kelahiran. “Akhirnya, semua bisa dilakukan melalui dialog, sehingga pengadministrasikan bisa dilakukan, kemudian prosesi pemberkatan dan anak-anak bisa mendapatkan akta kelahiran,” kata Mensos sembari menyampaikan pada Juli akan dipindahkan ke Provinsi Kalimantan Tengah.