:
Oleh Juliyah, Kamis, 21 April 2016 | 02:31 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 435
Jakarta, InfoPublik - Penggunaan antibiotika yang salah menjadi risiko terjadinya resistensi antibiotik, diantaranya peresepan antibiotik secara berlebihan oleh tenaga kesehatan, adanya anggapan yang salah di masyarakat bahwa antibiotik merupakan obat dari segala penyakit dan lalai dalam menghabiskan atau menyelesaikan treatment antibiotik.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, Oscar Primadi, mengajak masyarakat untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotika.
"Masyarakat tidak boleh membeli antibiotik sendiri tanpa ada resep dari dokter. Apabila sakit harus berobat di fasilitas pelayanan kesehatan. Antobiotik harus diminum sampai tuntas dan teratur sesuai anjuran dokter," katanya dalam keterangan Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat di Jakarta, Selasa (19/4).
Penanggung jawab resistensi antimikroba WHO Indonesia, Dewi Indriani, resistensi antibiotik terjadi saat reaksi bakteri terhadap antibiotika tidak sebagaimana harusnya, sehingga antibiotika tidak ampuh lagi.
"Kita mengkhawatirkan terjadinya era post antibiotic, dimana penyakit sederhanya yang sebenarnya bisa disembuhkan antibiotik malah jadi berbahaya," katanya.
Menurutnya, jika masalah resistensi antibiotika tidak segera ditangani, para pakar memperkirakan bahwa pada tahun 2050, lebih kurang 10 juta orang di dunia meninggal karena resistensi antibiotika. Resistensi antibiotika mengakibatkan biaya kesehatan menjadi lebih tinggi karena penyakit lebih sulit diobati; butuhkan waktu perawatan yang lebih lama; dan membawa risiko kematian yang lebih besar.
Sementara itu, anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Kuntaman, mengatakan bahwa masyarakat harus memahami, demam memang tanda adanya infeksi di dalam tubuh. Namun, tidak semua infeksi disebabkan oleh bakteri, sehingga tidak semua infeksi membutuhkan antibiotika.
Semisal pasien patah tulang karena kecelakaan, demam (panas) badannya, terapinya analgesik dan antipirektik, bukan antibiotik.
Contoh lain, bakteri E-coli di tubuh kita dalam jumlah tertentu bermanfaat, namun bila jumlahnya terlalu banyak menyebabkan diare. Jika benar karena itu, boleh gunakan antibiotik, meskipun sebenarnya diare ada yang butuh antibiotik ada juga yang tidak.
Belum banyak diketahui bahwa sebenarnya sifat resisten pada bakteri awalnya tidak merugikan, justru merupakan penyeimbang kehidupan. Namun, perilaku penggunaan antibiotika secara berlebihan mengakibatkan sifat resisten yang semula menguntungkan manusia justru berbalik menjadi ancaman.
Mikroflora atau bakteri baik yang ada di dalam tubuh kita, berfungsi sebagai vaksin alami. Namun, resistensi antibiotika menyebabkan proteksi tubuh melemah, sehingga bakteri yang seharusnya menjadi sahabat justru menjadi sumber penyakit. Ini dinamakan infeksi opportunistic, terang Kuntaman.
Kuntaman menyatakan bahwa dibutuhkan perubahan mindset masyarakat dan tenaga kesehatan agar tidak sembarangan gunakan antibiotika.
Selain itu, dikemukakan bahwa hasil berbagai riset terkait resistensi antimikroba yang tengah dilakukan menjadi dasar bagi KPRA untuk mengajukan pedoman kepada pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan penggunaan antibiotika secara bijak serta membuat peraturan terkait pembatasan penggunaaan antibiotika di Indonesia. Peraturan tersebut antara lain mencakup pelarangan apotek untuk menjual antibiotika tanpa resep dan membatasi masyarakat untuk menggunakan obat-obatan tanpa resep dokter.