Lewat Strategi Ini, Malaria di Teluk Bintuni Berhasil Turun

:


Oleh Juliyah, Kamis, 21 April 2016 | 02:26 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 785


Jakarta, InfoPublik - Papua dan Papua Barat masih menempati urutan tertinggi sebagai penyumbang kasus malaria terbanyak di Indonesia, sampai dengan 2015 lebih dari 70 persen kasus terjadi di propinsi ini.

Angka kesakitan penyakit ini berhasil diturunkan dari 112 per 1000 penduduk di 2009 menjadi hanya 2,4 per 1000 penduduk di akhir 2015.

Keberhasilan ini terlihat setelah digencarkan Gerakan Akselerasi Untuk Eliminasi Malaria (Arema) seperti yang dilakukan Kabupaten Teluk Bintuni salah satu kabupaten di Papua Barat.

"Gerakan Arema dilakukan melalui strategi Early Diagnosis And Treatment (EDAT) atau diagnosis dini secepat mungkin dan pengobatan yang tepat dan akurat," kata Kepala Dinas Kesehatan Teluk Bintuni, Papua Barat Andreas Ciokan saat temu media menyambut Hari Malaria Sedunia 2016 di Kemenkes Jakarta, Rabu (20/4).

Namun menurutnya, dengan melihat jumlah tenaga kesehatan yang masih terbatas, maka dibentuk juru malaria kampung (JMK) dan juru malaria perusahaan (JMP) di tempat terpencil yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.

JMK ini direkrut dari penduduk setempat terutama kaum ibu untuk diberi pelatihan sehingga dapat melakukan diagnosis dengan Rapid Test Malaria (RDT) dan memberi obat malaria sesuai panduan, juga JMP untuk beberapa perusahaan di daerah terpencil dengan fungsi yang sama.

"Minimal ada 1-2 orang JMK di masing-masing kampung, diutamakan para ibu terutama anggota PKK karena mereka yang memiliki waktu lebih banyak di rumah," ujarnya.

Ia menjelaskan, obat malaria yang didapat dari Kemenkes juga dikemas ulang dan dibagi ke dalam tujuh kategori berdasarkan umur dan berat badan dan tiap kategori diberi warna secara khusus untuk memudahkan pemberian obat malaria oleh petugas kesehatan/kader dan penggunaannya bagi penderita.

"Dengan cara ini tidak ada kesalahan karena dosis yang diberikan menjadi tepat," ujarnya.

Apotik dan warung juga tidak diperkenankan menjual obat-obatan malaria seperti Chloroquin, Suldox, Fansidar, Malarex, Nifaquin dan obat-obatan malaria lainnya.

"Pengawasan ini diperlukan karena obat-obatan tersebut tidak lagi dianjurkan sebagai obat anti malaria agar masyarakat dapat melakukan pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu sebelum menggunakan obat malaria," ungkapnya.

Selain itu, setiap puskesmas dan Pustu diberikan satu malaria KIT, atau lemari khusus berisi peralatan logistik dan obat malaria sehingga stok obat malaria selalu tersedia dalam jumlah yang cukup di tiap puskesmas/pustu.

"Dengan kegiatan ini, juga surveilans yang tepat maka kasus malaria bisa terus turun, dan ditargetkan teluk Bintuni bisa eliminasi Malaria di 2020, Kabupaten di Papua Barat lainnya juga diharapkan dapat melakukan hal yang sama," ungkapnya.