Obat Biosimiliar Miliki Keunggulan Dibanding Konvensional

:


Oleh G. Suranto, Kamis, 14 April 2016 | 16:22 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 866


Jakarta, InfoPublik - Produk obat biosimiliar memiliki keunggulan untuk mengobati beberapa kasus, jika dibandingkan dengan produk obat konvensional. Tapi persoalannya, kalau konvensional ini molekulnya kecil, tapi kalau biosimiliar bobot molekulnya besar.

Kepala Program Teknologi Biofarmasi, BPPT, Chaidir Amin mengatakan, untuk menghasilkan obat biosimiliar perlu upaya yang sangat serius, mulai tahap awal dari laboratorium sampai tahap ke produksi, itu semua harus terkontrol prosesnya.

“Kita harus mengelola data yang sangat banyak, sehingga kita harus men-setup IT sistem untuk masuk ke teknologi bioinformatika. Kemudian kita juga harus konsen jaminan mutu, sehingga kita harus bisa menguasai berbagai teknologi analisa. Itu tantangannya,” kata Chaidir di Jakarta Convention Center, Kamis (14/4).

Namun, kata dia, kalau dilihat dari efektivitasnya, produk biosimiliar ini menjanjikan bisa untuk pengobatan berbagai penyakit. Obat ini umumnya berupa protein. “Kendala selama ini, kita belum punya fasilitas riset yang bisa menangani riset biosimiliar,” ucapnya.

Menurutnya, laboratorium di BPPT ada, LIPI juga ada, termasuk di perguruan tinggi juga ada, tapi tidak standar untuk memproses produk biosimiliar tersebut, karena untuk biosimiliar ini harus memiliki standar yang tertentu. “Untuk produk standar belum ada, tapi yang ada baru untuk menangani industri biofarmasi,” ujarnya.

Disebutkan, untuk menangani produk biosimiliar ini harus menerapkan quality design, artinya produk itu harus valid hasilnya sejak awal dari laboratorium sampai produksi. Itu semuanya di data recornya, jadi semua harus bersih.

“Makanya kita harus punya laboratorium yang aseptik, padahal lab aseptik itu mahal, dan perlu adanya komitmen, karena kalau kita bangun lab aseptik harus ada maintenance, kemudian orang yang bekerja disitu juga harus fokus,” katanya.

Ia menambahkan, kalau ingin membangun industri biosimiliar, sebelumnya perlu dikembangkan dulu industri kontrak riset. Kemudian kalau perlu bekerjasama dengan peneliti-peneliti dari luar.

“Kita sarankan, salah satu BUMN farmasi itu memiliki industri kontrak riset, karena untuk pengembangan obat itu perlu waktu antara 12-15 tahun, dan tidak ada satupun industri yang mengembangkan obat sendiri, sehingga setiap pengembangan obat itu akan dikontrakan ke salah satunya ke industri kontrak riset,” ungkapnya.