Pemerintah Terus Dorong Terciptanya Budaya Negosiasi Pekerja dan Pengusaha

:


Oleh H. A. Azwar, Rabu, 30 Maret 2016 | 10:38 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 667


Jakarta, InfoPublik - Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakhiri menyatakan pemerintah mendorong terciptanya budaya negosiasi dan dialog sosial antara pekerja dan pengusaha dalam mewujudkan hubungan industrial yang harmonis di perusahaan.

Proses negosiasi dan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di perusahaan diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja, menguntungkan pengusaha dan mempercepat penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Keterampilan bernegosiasi yang melibatkan pekerja dan pengusaha menjadi kunci efektivitas dan efisiensi perundingan bersama melalui mekanisme negosiasi sukarela, kata Hanif usai acara penandatanganan kesepahaman bersama Dirjen PHI dan Jamsos dengan 28 pimpinan Federasi Serikat Pekerja/Buruh tentang Penyelenggaraan Pelatihan Bagi Pelatih (Training of Trainer) Keterampilan Bernegosiasi dalam Hubungan Industrial di kantor Kemnaker, Selasa (29/3).

Menurut Hanif, pemerintah sebagai penyelenggara negara agar mendorong dan mengembangkan praktek-praktek mekanisme negosiasi sukarela (voluntary negotiation) dalam setiap penyelesaian masalah-masalah perburuhan.

Pemerintah pada prinsipnya tidak akan melakukan intervensi dalam bentuk apapun terhadap proses perundingan bersama, kecuali diminta dan disepakati para pihak untuk memfasilitasi perundingan bersama agar perundingan dapat terus berlangsung dan terhindar dari jalan buntu (deadlock), ujarnya.

Namun, lanjut Hanif, untuk memastikan proses negosiasi berjalan efektif, kemampuan para pekerja/buruh dalam berunding harus diperkuat. Selama ini jumlah SP/SB baru di perusahaan dinilai tidak terbukti memberikan dampak signifikan pada efektivitas dan efisiensi perundingan bersama.

Para pimpinan federasi Serikat Pekerja atau Serikat Buruh diharapkan memberi motivasi, dukungan dan komitmen kepada para pekerja/buruh agar terampil bernegosiasi untuk meningkatkan kesejahteraannya, imbuh Hanif.

Selama ini, papar Hanif, pemerintah terus melakukan pelatihan dan sosialisasi kepada para pekerja/buruh, pengusaha maupun unsur pemerintah agar mereka terampil bernegosiasi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait hubungan industrial.

Sejak tahun 2013-2015, Kementerian Ketenagakerjaan telah memberikan pelatihan keterampilan bernegosiasi dalam hubungan industrial kepada 180 orang. Mayoritas peserta yaitu sebanyak 104 orang berasal dari unsur SP/SB, sisanya sebayak 25 orang dari unsur pengusaha/perusahaan dan 20 orang dari pemerintah.

Sebanyak 164 peserta dinyatakan lulus, 104 diantaranya dari unsur SP/SB yang tergabung dalam 28 federasi. Kedepannya, kita harapkan lebih banyak lagi yang mengikuti pelatihan keterampilan negosiasi ini, papar Hanif.

Selanjutnya, jelas Hanif, peserta yang lulus dari SP/SB dan telah memiliki sertifikat itu, berhak memberikan pelatihan keterampilan bernegosiasi dalam hubungan industrial yang berkualitas sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria pemahaman keterampilan bernegosiasi dalam hubungan industrial.

Melalui PKB ini, maka pelatih dari unsur SP/SB yang memiliki sertifikat lulus dapat memberikan pelatihan terampil bernegosiasi kepada seluruh anggota federasi di masing-masing unit kerja, jelas Hanif.

Hanif mengungkapkan, sejak 60 tahun lalu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 98 tahun 1949 tentang Hak Berorganisasi dan melakukan perundingan bersama melalui UU Nomor 18 tahun 1956.

Kesadaran kolektif skala internasional maupun nasional bahwa perundingan bersama sebagai kebutuhan dan hak asasi pengusaha dan pekerja/buruh melalui perwakilan SP/SB dalam membangun sistem hubungan industrial di tingkat perusahaan, ternyata sangatlah bergantung pada mekanisme negosiasi sukarela (voluntary negotiation) antara pengusaha dan pekerja/buruh melalui perwakilan SP/SB dalam membuat kesepakatan bersama mengenai kondisi-kondisi dan syarat-syarat kerja, ungkap Hanif.

Di sisi lain, jelasnya, masih banyak pengaturan syarat kerja di perusahaan diatur dalam peraturan perusahaan, atau perusahaan yang sudah memiliki PKB, namun proses perundingannya masih memakan waktu yang lama. Bahkan berakhir dengan gagal berunding, hingga terjadi mogok kerja dan pemutusan hubungan kerja.

Semoga kesepahaman bersama ini menjadi momentum dan tonggak sejarah perbaikan iklim ketenagakerjaan dan iklim investasi melalui peran nyata federasi SP/SB untuk kelangsungan usaha dan peningkatan kesejahteraan, jelas Hanif.

Kami berharap model kerjasama seperti ini dapat dikembangkan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, untuk menunjang aspek pembangunan ketenagakerjaan lainnya, seperti pengembangan kompetensi kerja dengan melibatkan partisipasi federasi SP/SB sesuai sektor usahanya, tukas Hanif.