:
Oleh H. A. Azwar, Rabu, 23 Maret 2016 | 18:50 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 535
Jakarta, InfoPublik - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri mendorong agar alokasi anggaran dana fungsi pendidikan yang jumlahnya cukup besar dapat digunakan untuk menunjang program pelatihan kerja di Balai Latihan Kerja (BLK) di berbagai wilayah Indonesia.
"Anggaran fungsi pendidikan yang diamanatkan konstitusi 20 persen, selama ini lebih banyak diarahkan untuk penguatan akses dan mutu pendidikan formal, sedangkan penguatan akses dan mutu pelatihan kerja itu masih sangat minim," kata Menaker saat membuka acara Penganugerahan Peliputan Media Terbaik tentang Perburuhan dan Serikat pekerja yang digelar Aliansi Jurnalis Indonesia di Jakarta, Rabu (23/2).
Menurutnya, Kemnaker terus mengusahakan adanya keseimbangan alokasi anggaran untuk pelatihan kerja dari anggaran dana fungsi pendidikan.
"Jadi, menurut saya harus diproporsionalkan, dibuat menjadi lebih seimbang sehingga mereka yang termasuk kategori usia kerja dan tidak sekolah lagi bisa memanfaatkan pelatihan kerja secara optimal," ujar Hanif.
Selama ini, lanjut Hanif, banyak angkatan muda kreatif yang kesulitan memasuki pasar kerja karena tidak memilki keterampilan kerja yang memadai. “Kalaupun kerja, biasanya mereka mendapatkan kerja di level paling bawah dengan upah yang terbatas juga,” imbuhnya.
Dengan adanya tambahan alokasi dana fungsi pendidikan yang dapat dipergunakan untuk menunjang program pelatihan kerja, Hanif berharap para pengangguran mendapat akses pelatihan kerja yang makin luas, untuk kemudian masuk ke pasar kerja. Bagi yang sudah bekerja, mereka bisa menambah keterampilannya.
Selama ini Kemnaker terus berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan agar penguatan akses dan mutu pelatihan kerja benar-benar bisa digenjot terutama terkait dengan masyarakat Ekonomi ASEAN. "Daya saing benar-benar menjadi kunci kita, bukan hanya untuk survive tapi juga untuk tampil sebagai pemain dan menjadi pemenang di era MEA," tuturnya.
Lebih jauh Menaker menjelaskan, profil ketenagakerjaan Indonesia dinilai cukup unik. Dalam persoalan ketenagakerjaan ada beberapa fakta yang boleh jadi akan membelalakkan mata kita.
"Profil angkatan kerja kita ini memprihatinkan karena dari sekitar 122 juta angkatan kerja itu 90 persen di antaranya adalah mereka yang lulus SMA ke bawah. Yang lulus SMP 60-an persen, yang lulus SD sekitar 42 persen sehingga dinamika dari isu perburuhan ini akan sangat terkait dengan profil dari angkatan kerja yang masih boleh dibilang less educated," jelas Menaker.
Problematiknya, disebut Hanif, mau sekolah lagi udah ketuaan. Orientasi hidup sudah berubah. Misal, anak umur 18 tahun ke atas ini kalau hanya lulus SD, SMP, atau SMA mau melanjutkan pendidikan formal sudah tidak mungkin dengan berbagai alasan. “Potensinya kecil sekali. Pikirannya sudah kawin, menikah, bangun keluarga, cari duit,” terang Hanif.
Kondisi ini menurut Hanif, menyebabkan kesulitan tersendiri. “Kemungkinan pertama, mereka tertolak di pasar kerja karena tidak punya keterampilan dan pengalaman, jadilah mereka kemudian pengangguran. Kedua, mereka mungkin saja diterima di tempat kerja tapi akan terjebak ke dalam jenis-jenis pekerjaan tertentu yang mungkin sifatnya low level yang untuk naik jabatan susah,” ujar Hanif.
"Sehingga, kalau tempo hari sering kita menyaksikan demonstrasi dari teman-teman serikat pekerja menyangkut soal kenaikan upah akhirnya ini menjadi sesuatu yang problematik karena terkait dengan kondisi dan kemampuan angkatan kerja yang menjadi terbatas," tambahnya.
Inilah problem dari angkatan kerja yang dari segi pendidikan formal memang masih menjadi tantangan. "Oleh karena itu dibutuhkan komitmen dari semua pihak, bukan hanya negara tapi juga dunia usaha serta masyarakat sipil termasuk teman-teman jurnalis, teman-teman serikat pekerja untuk mendorong agar kompetensi dan daya saing tenaga kerja kita semakin meningkat," pungkas Menaker.