:
Oleh H. A. Azwar, Minggu, 24 Januari 2016 | 22:02 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 350
Jakarta, InfoPublik - Komisi IX DPR akan memulai uji kepatutan dan kelayakan Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pada Senin 25 Januari 2016, dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Apindo dan tokoh masyarakat.
Uji kepatutan akan dimulai dengan penulisan makalah tentang visi dan misi terkait BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, Komisi IX DPR harus lebih teliti dan obyektif dalam melakukan uji kepatutan dan kelayakan Dewas tersebut.
Komisi IX juga harus lebih memfokuskan pada empat masalah yaitu kepesertaan, investasi, pelayanan dan manajemen organisasi BPJS Ketenagakerjaan, ujar Timboel di Jakarta, Minggu (24/2).
Ia menjelaskan, mengenai kepesertaan, hingga saat ini BPJS Ketenagakerjaan masih gagal meningkatkan kepesertaan secara signifikan. Kepesertaan aktif pekerja formal masih berkisar 30 persen dari total pekerja formal yang saat ini mencapai 35 juta.
Harusnya dengan kehadiran PP 86/2013 tentang sanksi, maka BPJS Ketenagakerjaan bisa menggunakaan instrumen tersebut untuk menegakkan hukum. Bahwa kepesertaan pekerja formal adalah wajib sesuai UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS.
Dewas BPJS Ketenagakerjaan gagal mengawasi Direksi BPJS Ketenagakerjaan dalam hal kepesertaan, tuturnya.
Sementara, terkait dengan investasi, saat ini BPJS Ketenagakerjaan mengelola uang buruh sekitar Rp200 triliun, dan tentunya investasi tersebut harus dikelola dengan hati-hati dan bisa menghasilkan imbal hasil yang baik.
Dewas harus mampu dan berani mengkritisi penempatan dana buruh pada investasi-investasi yang ada. Selama ini Dewas tidak berani mengkritisi investasi-investasi yang dilakukan direksi, kata Timboel.
Demikian juga dengann pelayanan BPJS Ketenagakerjaan kepada para buruh, lanjut Timboel. Pencairan JHT yang selama ini, disebutnya, bisa dilakukan seminggu, ternyata sejak 1 Juli 2015 pencairan tersebut memakan waktu berbulan-bulan, antara 3 hingga 4 bulan.
Hal ini terjadi karena ketidaksiapan BPJS Ketenagakerjaan merespon kehadiran PP 60/2015 tentang JHT. Demikian juga pelayanan kepada buruh yang mengalami kecelakaan kerja, masih banyak rumah sakit yang belum mau bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk menangani kasus kecelakaan kerja, imbuhnya.
Selanjutnya, terkait manajemen organisasi, dikatakannya, Dewas saat ini juga masih terkesan menjadi subordinasi direksi sehingga tidak mampu mengawasi direksi.
Dewas belum mampu mengemban amanat Pasal 22 UU No 24 tahun 2011. Selain itu ada beberapa program yang dilakukan direksi BPJS Ketenagakerjaan yang tidak signifikan mendukung capaian organisasi seperti pembukaan 150 kantor cabang yang ternyata tidak signifikan meningkatkan kepesertaan, demikian juga dengan sistem IT yang masih idle, belum berfungsi tapi sudah keluar biaya untuk biaya lisensi.
“Tentunya masih banyak persoalan ke depan yang harus diselesaikan dan untuk itu butuh kerja kerja Dewas yang riil,” kata Timboel.