- Oleh MC KOTA PADANG
- Jumat, 15 November 2024 | 04:44 WIB
: Hakim Konstitusi, Arief Hidayat saat membacakan putusan Nomor 117/PUU-XXII/2024 pada Rabu (16/10/2024)/ foto: YouTube MK
Oleh Mukhammad Maulana Fajri, Rabu, 16 Oktober 2024 | 17:49 WIB - Redaktur: Untung S - 264
Jakarta, InfoPublik - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara permohonan pengujian materi Pasal 482 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait aturan batas waktu penyelesaian tindak pidana pemilu dengan hasil putusan tidak dapat diterima.
Sidang pengucapan putusan itu dilaksakan pada pada Rabu (16/10/2024) di Ruang Sidang MK. Perkara Nomor 117/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Indra Wiliams Liempepas (Pemohon I) dan Christovel Liempepas (Pemohon II). Keduanya merupakan terdakwa kasus tindak pidana pemilu yang juga calon anggota legislatif (caleg) terpilih periode 2024 – 2029.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan, Rabu (16/10/2024).
Berdasarkan informasi dari keterangan tertulis www.mkri.id, dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan norma yang diajukan untuk diuji oleh para Pemohon adalah Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017. Pemohon menilai dengan diberlakukannya Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 yang dianggap tidak jelas tersebut menimbulkan multitafsir sehingga berpotensi digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.
Para Pemohon beranggapan bahwa Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 memiliki interpretasi yang cenderung belum jelas sehingga menimbulkan kerugian. Menurut Mahkamah, batas waktu sebagaimana diatur Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 merupakan keniscayaan yang harus diterapkan dengan memedomani prinsip peradilan cepat (speedy trial). Berkenaan dengan hal tersebut makna dari rumusan Pasal 482 ayat (1) a quo, yang menyatakan "Pengadilan Negeri dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tindak Pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran terdakwa" berarti paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara, perkara yang telah dilimpahkan berkasnya ke pengadilan negeri harus telah diputus. Secara implisit, batas waktu dimulainya atau berlakunya jangka waktu 7 (tujuh) hari tersebut adalah sudah jelas, yaitu hari berikutnya setelah berkas perkara tersebut dilimpahkan kepada pengadilan negeri.
Selanjutnya, pengadilan negeri harus menggunakan waktu selama 7 (tujuh) hari tersebut untuk menyelenggarakan proses peradilan yaitu dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dengan berpedoman pada prinsip kepastian hukum dan peradilan cepat serta berbiaya ringan sebagaimana yang telah Mahkamah uraikan dalam pertimbangan di atas, maka selayaknya dimulainya waktu 7 (tujuh) hari tersebut adalah sesegera mungkin setelah pelimpahan berkas perkara, dan hal ini secara implisit telah tercantum dalam rumusan Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, rumusan Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 adalah cukup jelas, sehingga tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujaff Hakim Arief.
Kemudian Hakim Arief menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak alasan para pemohon yang telah diajukan pada perkara yang telah diujikan.
“Dengan demikian, Mahkamah tidak menemukan sama sekali alasan dalam permohonan para Pemohon berkaitan dengan permohonan untuk menghilangkan ketentuan bahwa proses peradilan dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Oleh karena itu, petitum dalam permohonan para Pemohon jika dikabulkan dapat mengakibatkan norma Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 menjadi tidak utuh yang bermuara pada ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Selain itu, berkenaan dengan kasus konkret yang dihadapi oleh para Pemohon, yaitu adanya anggapan para Pemohon mengenai ketidakpastian hukum yang ditimbulkan dari penerapan Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 oleh Pengadilan Negeri Manado dan Pengadilan Tinggi Manado, hal tersebut bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Persoalan bagaimana lembaga peradilan menerapkan Pasal 482 ayat (1) a quo merupakan persoalan penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma.
“Sehingga, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan Pasal 482 ayat (1) UU 7/2017 tidak bertentangan secara bersyarat dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” tutup Hakim Arief.
Sebelumnya, terdakwa kasus tindak pidana pemilu yang juga calon anggota legislatif (caleg) terpilih periode 2024 – 2029, Indra Wiliams Liempepas (Pemohon I) dan Christovel Liempepas (Pemohon II) mengajukan pengujian terkait pasal yang berkaitan dengan ketentuan waktu penyelesaian perkara tindak pidana pemilu oleh Pengadilan Negeri (PN) setelah pelimpahan berkas perkara.