:
Jakarta, InfoPublik - Perkembanganan teknologi informasi sangat pesat, media sosial sudah menjadi wadah untuk menyebarkan informasi yang baik maupun disinformasi (Hoaks).
Untuk itu, hoaks jangan sampai mengganggu ketahanan nasional, melalui literasi digital diharapkan persoalan hoaks tidak lagi bisa mengganggu, tapi justru bisa melawan hoaks.
Demikian dikatakan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Henri Subiakto, dalam acara diskusi virtual bertema 'Melawan Hoaks dengan Literasi Digital untuk Ketahanan Nasional' yang diselengarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan Komisi I DPR RI, di Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Menurutnya, hoaks itu bisa menjadi sesuatu yang sangat menyebar karena terkoneksi. Di era digital ini setiap orang ketika dia bisa menggunakan internet berarti dia terkoneksi secara teknologi, implikasi terkoneksi memunculkan konektivitas di bidang politik, sosial, ekonomi hingga budaya.
"Bayangkan pengguna internet saat ini sudah mencapai 204,7 juta di Indonesia, dan 4,6 miliar di dunia. Artinya dengan koneksi itu, informasi bisa menyebar ke seluruh pelosok dunia, tidak hanya di Indonesia," kata Henri.
Pengguna teknologi digital informasi untuk berkomunikasi bukan hanya komunikator, mediator, komentator, content creator, tapi juga provokator yaitu orang yang menyebar hoaks. Karena itu penting bagi semua untuk memperkaya pengetahuan melalui literasi digital.
Henri menjelaskan, di era sekarang dunia internet itu layaknya light war atau perang cahaya dan media sosial seperti perang komunikasi karena ada yang memproduksi hoks atau informasi-informasi tidak benar (disinformasi) sebagai senjata untuk menyerang pihak lain. Di sisi lain, banyak juga yang mememang senjata untuk memeranginya.
"Makanya tidak aneh kalau di dunia internet kita itu atau dunia media sosial ada yang namanya buzzer hingga cyber army, sebagai bagian dari perangkat-perangkat perang di dunia maya," jelasnya
Hal itu terjadi di seluruh negara dunia bukan hanya Indonesia, seperti Amerika, Inggris, Brazil dan negara-negara demokrasi lainnya.
Menurut Henri, di ruang-ruang demokrasi banyak sekali pelaku-pelaku yang mencoba untuk memanfaatkan kebebasan dengan menyebarkan hoaks (disinformasi) dengan akun-akun anonim.
Pendukung konflik di media sosial, tegasnya, ditemukan bahwa cyber army hingga buzzer yang memang dibiayai oleh partai politik, aparat penegak hukum, dan ada juga oleh pemerintah.
"Jadi di media sosial itu memang harus kita hadapi dengan kekritisan, tidak bisa kita langsung percaya, karena ternyata kontennya banyak yang tidak sesuai dengan fakta," tegasnya.
Karena media sosial lanjut Henri, juga bisa memunculkan fenomena rasis, radikalisme. Jangan sampai Indonesia mengalami seperti Suriah, Libya dan Afghanistan.
"Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final, sesuai semboyan hubbul wathon minal iman yaitu cinta tanah air adalah bagian dari iman," pungkasnya.
Foto: Hasil Tangkapan Layar Zoom