Badan Sawit Nasional Dibutuhkan untuk Tingkatkan Produktivitas Sawit

: Foto: Ismadi Amrin/InfoPublik


Oleh Isma, Kamis, 4 Juli 2024 | 22:20 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 144


Jakarta, InfoPublik - Meski wilayah perkebunan sawit Indonesia lebih besar dari Malaysia, produktivitas sawit nasional saat ini masih terbilang stagnan dan belum bisa mengalahkan produktivitas sawit negeri Jiran.

Di sisi lain, permintaan minyak sawit terus bertambah sejalan dengan meningkatnya program Biodiesel 35% (B35) menjadi B45 dan pertambahan jumlah penduduk yang meningkatkan konsumsi untuk pangan.

Ini artinya terjadi ketidakseimbangan antara produksi yang tetap namun pemintaan bertambah.

Demikian disampaikan Ketua Kompartemen Media Relation Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Fenny saat diskusi sawit "Menjaga Keberlanjutan Industri Sawit dalam Pemerintahan Baru"yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Auditorium Gedung D Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Menurut Fenny, dalam empat tahun terakhir, produktivitas minyak sawit Indonesia cenderung stagnan. Ia membeberkan, pada 2019, tercatat konsumsi 32,3% dari produksi. Lalu di Februari 2024 naik menjadi 42,8% dari produksi.

"Perkebunan kelapa sawit di Indonesia memang lebih besar dari Malaysia. Tapi kalau dilihat dari produktivitasnya, kita lebih rendah. Ini harus dievaluasi bersama," ujar Fenny.

Rendahnya produktivitas diketahui karena komposisi tanaman sawit di Indonesia 40% termasuk kategori tua.

Fenny menilai mengurangi jatah ekspor demi memenuhi kebutuhan dan permintaan di dalam negeri bukan pilihan yang bisa diambil. Pasalnya, hal itu akan menurunkan pendapatan nasional dari pungutan ekspor (export levy).

Oleh karena itu, menurut Fenny untuk meningkatkan produktivitas, perlu digencarkan edukasi baik bagi petani dan pengusaha terkait peremajaan sawit atau replanting, melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR).

Tak hanya itu, perlu juga ada evaluasi moratorium kebun sawit agar produksi bisa lebh banyak dalam waktu yang lebih cepat. Seperti diketahui, moratorium yang ada saat ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019.

"Ini kami tidak menyebutkan moratorium dicabut atau gimana, tapi lebih ke evaluasi agar produksi lebih banyak dalam waktu cepat. Kita berlari dengan waktu, di mana konsumsi lebih tinggi tapi kebutuhan tidak dapat terelakkan," tuturnya.

Selain kendala tersebut, Fenny juga mengungkapkan ada kendala pada tata kelola industri kelapa sawit itu sendiri. Pertama, banyaknya kementerian/lembaga yang terlibat dalam industri kelapa sawit yakni mencapai lebih dari 31 K/L baik pusat maupun daerah.

Kedua, adanya kampanye negatif dan tuntuntan keberlanjutan yang cenderung diskriminatif terhadap sawit. Ketiga, potensi kebijakan yang disharmoni, sehingga berdampak negatif terhadap keberlanjutan industri keapa sawit.

Disharmoni tersebut antara lain, tumpang tindih pengertian dari kebijakan yang mengatur sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan, pengaturan izin pendirian pakbrik kelapa sawit (PKS), dan pengaturan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (FPKM) 20%.

Pentingnya Badan Sawit Nasional

Dalam diskusi tersebut, sejumlah kalangan mendesak terbentuknya Badan Sawit Nasional demi mengentaskan persoalan industri sawit di pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan datang. Pasalnya, tampak tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan berbagai pihak.

Fenny menjelaskan, dengan adanya Badan Sawit akan tergambar mulai dari berapa stok yang perlu dimiliki, berapa konsumsinya, bagaimana suplai dan permintaan dari luar negeri sehingga mampu menentukan harga yang baik.

“Jadi semua harus didudukan untuk mengatur kebijakan apa yang harus dikeluarkan. Kebijakan itu harus berdasarkan pada satu badan atau satu kelompok yang memang dari awal sudah ngikutin permasalahan,” ujarnya.

Fenny mengungkapkan, dengan dibentuknya Badan Sawit tentu akan menelurkan peta jalan yang jelas dan tersingkronisasi, sehingga akhirnya bakal berdampak pada produksi hingga ekspor sawit Tanah Air.

“Jadi yang dilakukan oleh Gapki adalah mengedukasi semua pihak terkait dengan concern maupun challange (industri sawit) sehingga muncul sebuah kebijakan dari pemerintahan baru yang menguntungkan,” ungkapnya.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung menuturkan, Badan Sawit bakal menjadi database seluruh aktivitas dan mengantisipasi hal-hal negatif.

“Dengan data yang lengkap maka akan meningkatkan replanting, permasalahan lahan diatasi, pupuk kurang di mana langsung dikirim, karena semua terdatabase dalam satu Badan Sawit Indonesia,” tuturnya.

Gulat bilang, pihaknya juga telah berdiskusi dengan tim presiden terpilih Prabowo-Gibran bahkan kajiannya tengah di uji oleh Universitas Indonesia (UI) terkait seberapa penting rencana dibentuknya Badan Sawit Indonesia.

“Mungkin minggu depan sudah keluar uji akademisnya Badan Sawit, artinya ini disimulasi keluarnya Badan Sawit,” tandasnya.

Sementara itu, Guru Besar IPB University, Rachmat Prambudy menyampaikan adanya aspirasi dari petani untuk pembentukan Badan Sawit ini menjadi dasar yang kuat.

“Saya sebagai guru besar IPB dan anggota HKTI saya merasa ini menjadi kebutuhan, mungkin bagian dari strategi kita untuk menghasilkan produk unggulan yang berdaya saing,” kata Rachmat.