:
Oleh Wawan Budiyanto, Kamis, 12 Januari 2017 | 21:24 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 600
Jakarta, InfoPublik - Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya peningkatan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia yang pada 2016 diperkirakan mencapai 940,95 miliar dolar AS.
Hal tersebut dikemukakan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto dalam siaran resminya, Kamis (12/1) saat memberikan sambutan pada Pelatihan Advancing Accountable Resources Governance in Asia Pacific yang diselenggarakan oleh Fisipol Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Dalam paparan bertajuk peran dan kontribusi PT Pertamina (Persero) bagi Indonesia, Dwi Soetjipto mengatakan GDP suatu negara dipengaruhi oleh empat komponen yaitu consumer spending konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, investasi dan selisih antara ekspor dikurangi impor. Dalam konteks keempat komponen tersebut, Pertamina berperan cukup dalam sehingga memberikan pengaruh terhadap GDP Indonesia.
Dwi menjelaskan, dalam hal konsumsi masyarakat, harga bahan bakar minyak (BBM) yang kompetitif ikut merangsang kegiatan ekonomi masyarakat. Ditambah lagi dengan penerapan BBM satu harga di seluruh nusantara yang disamping memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat, juga berperan untuk menstimulasi kegiatan perekonomian masyarakat.
“Melalui BBM Satu Harga, masyarakat dapat merasakan betul dampak positifnya. Dengan harga BBM yang lebih terjangkau, masyarakat menjadi lebih leluasa dalam melakukan aktivitas ekonomi, lebih produktif dan distribusi barang menjadi lebih efisien sehingga mempengaruhi harga-harga barang lainnya,” jelas Dwi.
Dari aspek belanja pemerintah, Pertamina telah berperan untuk mendukung anggaran negara melalui kontribusi dividen dan pajak. Hingga November lalu misalnya, Pertamina telah menyetor pajak tidak kurang dari Rp58 triliun.
Kemudian komponen investasi, di mana Pertamina telah memiliki rencana investasi lebih dari 100 miliar dolar AS hingga tahun 2025. Investasi tersebut dialokasikan untuk berbagai lini usahanya, termasuk pembangunan infrastruktur energi yang tidak hanya berperan penting untuk ketahanan energi nasional tetapi juga dalam penyerapan tenaga kerja.
Adapun, komponen terakhir mengenai selisih ekspor dan impor yang ditunjukkan dengan penurunan volume impor sejumlah produk bahan bakar. “Yang mengalami penurunan impor signifikan di antaranya Solar,” katanya.
Dwi menambahkan, dengan proyek Refinery Development Master Plan dan Grass Root Refinery, diharapkan juga dapat mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional dan membebaskan Indonesia dari ketergantungan impor produk BBM pada 2023.
Sementara itu, hadir dalam pelatihan tersebut, Deputi I Kepala Staf Kepresidenan Darmawan Prasodjo, Koordinator Tim Sumber Daya Alam Direktorat Litbang KPK Dian Patria, Guru Besar Fakultas Isipol UGM Purwo Santoso, beserta para pakar, praktisi, akademisi, dan peneliti di sektor industri ekstraktif di Asia Pasifik.
Pelatihan tersebut dimaksudkan untuk menguatkan kapasitas pemangku kepentingan untuk akuntabilitas tata kelola industri ekstraktif dan membangun jejaring multi pihak untuk meningkatkan kualitas tata kelola industri ekstraktif di Asia Pasifik. Pelatihan yang telah memasuki tahun keempat tersebut diikuti oleh 26 peserta dari 10 negara, meliputi Indonesia, Myanmar, Vietnam, Filipina, India, Timor Leste, Mexico, Mongolia, Afghanistan, Australia.