Transformasi Industri Manufaktur Kunci Daya Saing Global Indonesia

:


Oleh Amrln, Senin, 28 November 2016 | 09:07 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 684


Jakarta, InfoPublik - Transformasi industri manufaktur merupakan satu kunci meningkatkan daya saing global Indonesia, sehingga harus dilaksanakan melalui pembenahan di berbagai lini, mulai dari sumber daya manusia, hingga pasokan energi dan infrastruktur lainnya.

Demikian mengemuka dalam Rapat Koordinasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Bank Indonesia yang diselenggarakan di Surabaya pada 25 November 2016. Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (27/11), Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara mengatakan bahwa dalam rapat koordinasi tersebut telah teridentifikasi sejumlah tantangan yang masih dihadapi dalam pengembangan sektor industri manufaktur di Indonesia. "Rapat koordinasi mengidentifikasi tujuh tantangan pengembangan sektor industri," kata Tirta.

Ia menjelaskan, tantangan pertama dalam pengembangan sektor industri adalah relatif rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia yang tercermin dari produktivitas tenaga kerja yang kurang kompetitif dan tingkat kekakuan (rigiditas) pasar tenaga kerja yang tinggi.

Kedua, belum tersedianya energi yang andal dengan harga kompetitif. Ketiga, efisiensi logistik dan dukungan industri manufaktur yang masih belum memadai.

Keempat, kebijakan industri yang belum terintegrasi antar lembaga terkait dan antara pemerintah pusat dan daerah. Kelima, struktur industri yang belum berimbang yang menciptakan ketergantungan bahan baku dan penolong pada luar negeri.

Keenam, postur industri yang tidak imbang dengan komposisi terbesar merupakan industri berskala mikro dan kecil serta peran Industri Kecil dan Menengah (IKM) dalam rantai industri manufaktur Indonesia yang masih belum optimal. Ketujuh, keterbatasan sumber pembiayaan industri terutama dari sisi keberagamannya.

Menurutnya, tantangan pengembangan industri Indonesia akan dijawab melalui Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) yang difokuskan pada upaya meningkatkan nilai tambah SDA, mendorong keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan, serta menjadikan Indonesia sebagai negara industri tangguh.

"Ke depan, para peserta rakor sepakat untuk terus memperkuat koordinasi dan sinergi kebijakan dalam rangka mempercepat transformasi industri manufaktur sehingga dapat mendorong industrialisasi Indonesia yang berdaya saing global," pungkasnya.

Rapat tersebut dihadiri oleh Gubernur dan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, pejabat tinggi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Hadir mewakili Pemerintah Daerah adalah Gubernur Jawa Timur serta beberapa Bupati di wilayah Jawa Timur.

Rapat koordinasi menghasilkan sejumlah kesepakatan penting yang akan diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang terintegrasi, salign bersinergi, dan secara konsisten diarahkan pada penguatan daya saing industri nasional, dengan prioritas pada beberapa hal.

Pertama, peningkatan kapabilitas sumber daya manusia melalui perluasan akses pendidikan vokasional dan pengembangan standar kompetensi kerja nasional a.l. melalui pengembangan kerjasama antar akademisi-bisnis-pemerintah, sertifikasi tenaga kerja industri, dan pembangunan sekolah-sekolah vokasi yang spesifik di Kawasan Industri (KI), serta memfasilitasi SMK yang telah ada untuk bekerjasama dengan industri.

Kedua, penyempurnaan dan penataan regulasi terkait ketenagakerjaan, khususnya UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yakni dengan menghilangkan pasal-pasal yang dianggap kaku dan mengharmonisasikan dengan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, untuk memberikan keseimbangan antara penciptaan lapangan kerja dan perlindungan tenaga kerja.

Ketiga, pengembangan sektor industri padat tenaga kerja dan berorientasi ekspor serta pengembangan industri berbasis SDA (hilirisasi). Industri yang didorong pertumbuhannya antara lain industri berbasis agro (seperti minyak sawit di Sei Mangkei, green diesel di Dumai, minyak goreng di Bontang), industri berbasis mineral logam (seperti besi beton di Batulicin, baja berbasis pasir besi di Kulon Progo, dan stainless steel di Morowali), industri yang berbasis migas dan batu bara (seperti methanol di Muara Enim), serta pengembangan sentra industri kecil dan menengah (IKM) di daerah.

Keempat, penyediaan pasokan energi, termasuk percepatan pembangunan proyek 35.000 megawatt yang diutamakan pada daerah-daerah yang mengalami defisit listrik. Selain itu, akan dijajaki kemungkinan penyesuaian harga energi yang mendorong daya saing industri, termasuk upaya mengurangi harga gas a.l. dengan memperpendek jalur distribusi penjualan gas.

Kelima, pembatalan Perda yang menghambat pengembangan investasi dan industri di daerah dilakukan dengan melibatkan langsung peran Kepala Daerah dan DPRD, dan Pemerintah Pusat.

Keenam, pengembangan kerjasama antar daerah antara lain melalui pendirian perwakilan dagang sebagai bagian untuk mendorong berkembangnya lalulintas perdagangan antar daerah, serta pengembangan perwakilan dagang di negara mitra untuk mendorong perluasan akses pasar.

Ketujuh, penyediaan paket insentif investasi oleh Pemda yang disesuaikan dengan karakteristik daerah untuk mendorong berkembangnya investasi serta didukung upaya untuk mempercepat penyediaan infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan investor serta memperluas akses permodalan.