IATA Gandeng STMT Trisakti Sosialisasikan Penanganan Baterai Lithium

:


Oleh Dian Thenniarti, Selasa, 15 November 2016 | 00:07 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 332


Jakarta, InfoPublik - Asosiasi (International Air Transport Association/IATA) secara maraton terus menggelar sosialisasi terhadap bahayanya pengangkutan pengiriman baterai jenis ion lithium melalui angkutan udara ke sejumlah negara, salah satunya Indonesia.

Hal tersebut menyusul terjadinya sejumlah kasus terbakarnya baterai berjenis ion lithium pada beberapa penerbangan.

Di Indonesia, IATA menggandeng Lembaga Pengembangan Manajemen Transportasi & Logistik (LPMTL) Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti, sebagai partner untuk mensosialisasikan penanganan produk yang masuk dalam kategori barang berbahaya (dangerous goods) tersebut.

Direktur LPMTL STMT Trisakti, Salahudin Rafi, mengungkapkan, workshop IATA terkait penanganan baterai berjenis ion lithium dalam penerbangan sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Hal tersebut mengingat saat ini belum ada regulasi nasional yang mengatur akan hal tersebut, sementara sejumlah negara telah ada yang menerapkan pelarangan terhadap pengiriman baterai berjenis ion lithium melalui jalur udara.

"Jika memang mendesak dan sangat diperlukan dengan alasan keselamatan penerbangan, sangat memungkinkan untuk direkomendasikannya penyesuaian maupun pembaruan regulasi penerbangan terkait hal ini kepada pemerintah," ujar Rafi, dalam lokakarya bertajuk 'IATA Dangerous Goods Workshop', Senin (14/11).

Workshop yang diikuti ratusan praktisi industri penerbangan tersebut merupakan refresh dan fase lanjutan dari kursus pelatihan dan penanganan kiriman barang berbahaya melalui mode udara (dangerous goods carried by air) yang digelar oleh IATA di sejumlah negara. 

Sebagaimana diketahui, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui larangan sementara pengiriman kargo dengan muatan baterai litium isi ulang pada pesawat penumpang. Baterai litium diduga dapat menyulut api dengan cepat sehingga dapat menghancurkan pesawat. 

Keputusan Dewan Tingkat Atas Organisasi Penerbangan Sipil International (ICAO) yang berbasis di Montreal, Kanada yang dirilis beberapa waktu lalu itu memang tidak mengikat. Namun, sebagian besar negara mengikuti standar lembaga ini. Larangan itu berlaku efektif pada 1 April 2016.

Baterai ion litium digunakan dalam perangkat produk, seperti ponsel, laptop, dan mobil listrik. Sekitar 5,4 miliar sel ion litium diproduksi di seluruh dunia pada 2014. Sebuah baterai terdiri atas dua atau lebih sel. Mayoritas baterai diangkut dengan kapal kargo, tapi sekitar 30 persen dikirim melalui udara. 

Maskapai penerbangan ke dan dari Amerika Serikat yang menerima pengiriman baterai litium membawa 26 juta penumpang per tahun menurut estimasi Badan Penerbangan Sipil (FAA).

Otoritas penerbangan telah lama mengetahui baterai itu dapat menyala dengan sendiri dan bisa menciptakan kebakaran yang lebih panas dari 593 derajat celsius. Masalah keamanan meningkat setelah uji coba FAA menunjukkan gas yang dikeluarkan baterai yang terlalu panas dapat bertambah besar di kargo kontainer dan memicu ledakan yang mampu melumpuhkan sistem pengendali kebakaran pesawat. Itu juga bisa membuat kebakaran tak terkendali.

Tiga jet kargo telah hancur dan empat pilot tewas dalam kebakaran pesawat sejak 2006. Para peneliti meyakini pemicu awal kebakaran itu ialah baterai. Federasi Internasional Asosiasi Pilot Jalur Udara melobi Dewan ICAO untuk memperluas larangan hingga operator kargo.