:
Oleh Wandi, Senin, 10 Oktober 2016 | 22:33 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 244
Jakarta, Info Publik -Bank Indonesia (BI) tidak selalu mulus menetapkan kebijakan moneter.Terutama dalam hal mengambil keputusan penyesuaian suku bunga acuan (BI rate).
Sejumlah problem pelik baik dalam dan luar negeri mewarnai sebelum keputusan final tersebut dipatenkan. Tercatat sejak 2013, BI mengalami tarik ulur untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter melalui skema penurunan BI rate.
Ketidakpastian itu bersumbu pada maju mundur lonjakan suku bunga acuan Bank Central Amerika Serikat (AS) melalui The Federal Reserve (The Fed).
Tak ayal situasi tersebut tidak menyisakan ruang bagi pemerintah menurunkan BI rate. Padahal, saat itu tidak sedikit pihak menggantung asa BI rate sedikit dilonggarkan.
”Kalau kala itu dilonggarkan tentu akan memantik situasi tambah memburuk,” tutur Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara, Sabtu (8/10)
Saat itu, lanjut Mirza, rupiah tidak punya posisi tawar (bargaining position) terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Kemudian terjadi kredit bermasalah di perbankan, dan harga komoditas cukup terpuruk.
”Gara-gara AS sulit diprediksi, importir tak bisa lakukan aktivitas dan perencanaan kegiataan,” ulasnya.
Namun, pelan tapi pasti sejak Desember 2015 mulai beranjak positif. Di mana, pola kebijakan moneter Negeri Paman Sam mulai dapat diprediksi.
Kurs nilai tukar rupiah mulai lebih stabil, inflasi turun, dan defisit ekspor impor barang dan jasa juga terkendali.
”Dan, saat ini situasi telah tenang dan pelaku usaha bisa melakukan aktivitas impor dan ekspansi. Meski memang belum sesuai ekspektasi,” imbuhnya.
Kredit, sambung Mirza, terus mengalami perbaikan dan pertumbuhan. Bahkan, kalau situasi terus berkembang dan kondusif, kredit akan tumbuh dalam enam bulan ke depan.
”Situasi terkendali kredit akan tumbuh. Jadi, tahun depan periode recovery berlanjut,” tukas Mirza.