:
Oleh Wandi, Jumat, 9 September 2016 | 10:20 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 922
Jakarta, InfoPublik - Anggota Komisi VI Yaqut Cholil Qoumas khawatir kebijakan penurunan tarif interkoneksi hanya akan menguntungkan operator swasta saja. Pasalnya, selama ini banyak operator swasta yang tidak serius membangun infrastruktur jaringan atau hanya terbatas di kota saja.
Yaqut, politikus dari PKB itu menilai kebijakan tarif interkoneksi ini juga jangan sampai merugikan Telkom dan Telkomsel.
"Mereka ini giat membangun infrastruktur jaringan hingga ke daerah pedalaman atau pelosok. Apalagi, investasi operator pelat merah tersebut telah mengeluarkan investasi yang tidak sedikit. Terkait dengan prinsip keadilan dan persaingan usaha yang sehat, maka perlu diberlakukan skema asimetris dalam perhitungan dasar tarif interkoneksi. Artinya, dengan skema asimetris, tarif interkoneksi berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan atas kerja keras membangun jaringan dan efisiensi dari masing-masing operator (cost based)," katanya, Senin (5/9).
Pria yang juga Ketua Umum GP Ansor ini menegaskan, pemerintah harus konsisten untuk menjalankan PP No 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, khususnya pada pasal 21, pasal 22 dan pasal 23.
Khusus pada pasal 23 ayat 2 terkait biaya interkoneksi disebutkan, bahwa biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil. "Berkaitan dengan itu, biaya interkoneksi merupakan cost recovery dari setiap operator," tegasnya.
Nah, berdasarkan RDPU Komisi I DPR dengan para operator, lanjutnya, didapatkan data jika cost recovery Telkom dan Telkomsel sebesar Rp285 per menit. Sedangkan cost recovery operator lainnya, Indosat Rp86 per menit, XL Rp65 per menit, Smartfren Rp100 per menit dan Tri Rp120 per menit.
"Dengan demikian, tarif interkoneksi yang rencananya dikenakan sebesar Rp204 per menit jauh di bawah cost recovery yang ditanggung oleh Telkom/Telkomsel," papar Yaqut.
Mengenai wacana lebih lanjut dari tarif interkoneksi ini adalah revisi terhadap PP No 52 dan PP no 53 tahun 2000, yang memungkinkan adanya network sharing. Jika hal tersebut terjadi, imbuh Yaqut, Negara bisa mengalami kerugian yang besar, karena para operator yang selama ini malas membangun jaringan, akan mendompleng jaringan Telkom/Telkomsel, sehingga dikhawatirkan akan membuat penetrasi ketersediaan jaringan di wilayah Indonesia tidak akan bertambah.
"Maka tidak tepat jika penurunan tarif interkoneksi ini ditujukan demi konsumen. Isu tarif interkoneksi ini jelas adalah aksi korporasi saja yang ingin mendobrak dominasi Telkom dan Telkomsel dalam industri telekomunikasi, dan memperbesar setoran ke pemilik saham atau investor utama yang berada di luar negeri seperti Malaysia dan Qatar," tandasnya.
Dia menjelaskan, hal ini mengingat penurunan biaya interkoneksi sebesar Rp46 per menit sesungguhnya tidak terlalu berdampak signifikan bagi konsumen. Komponen biaya interkoneksi setidaknya hanya berkontribusi rata-rata sebesar 15% dari total biaya tarif ritel yang berada di kisaran Rp1.500 - Rp2.000 per menit.
"Pada tataran ini, pemerintah seharusnya menyampaikan hasil perhitungan tarif interkoneksi yang transparan dari seluruh operator kepada publik," ujarnya.