:
Oleh Baheramsyah, Sabtu, 20 Agustus 2016 | 19:45 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 814
Jakarta, InfoPublik - Sejak Juni 2015 hingga Juli 2016, ada ribuan perizinan kapal perikanan yang diajukan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diantaranya sebanyak 1.165 untuk SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), 2.274 untuk SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), dan 186 untuk SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan).
Pada perkembangannya, KKP telah mengeluarkan 265 izin dengan rincian, 214 untuk SIUP, 22 untuk pengajuan SIPI yang telah disetujui, dan dua pengajuan SIKPI yang telah disetujui per Agustus 2016. Dengan kata lain, hanya 18 persen pengajuan SIUP yang telah disetujui, 0,97 persen SIPI dan 1,08 persen untuk SIKPI.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim di Jakarta, Sabtu (20/8) mengatakan, “Minimnya jumlah izin kapal perikanan yang disetujui berimplikasi terhadap upaya memandirikan usaha perikanan nasional. Terlebih lagi, fakta tersebut mengindikasikan lemahnya fungsi kelembagaan dalam menjalankan prosedur perizinan kapal perikanan, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan”.
Di dalam Peraturan Menteri Nomor 30 tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Nomor 11 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimum Gerai Perizinan Kapal Penangkap Ikan Hasil Pengukuran Ulang, jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengurus kelengkapan dokumen kapal perikanan (SIUP, SIPI, SIKPI, dan Buku Kapal Perikanan) selama 37 hari atau 1 bulan 1 pekan.
Nelayan asal Rembang, Jawa Tengah Sammy Soendoro, mengatakan, jika pemerintah sungguh-sungguh berpihak kepada kepentingan nelayan dan kemandirian usaha perikanan nasional, maka sudah seharusnya perizinan kapal perikanan dipermudah, prosesnya terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring atau online.
Apalagi ada dua kementerian yang terkait langsung (KKP dan Kementerian Perhubungan), sehingga dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah agar semangat perubahan yang diinginkan oleh masyarakat perikanan sejalan”.
Pusat Data dan Informasi Kiara (Agustus 2016) menemukan fakta, KKP tidak secara jelas menyampaikan status dan keterangan penolakan pengajuan perizinan kapal perikanan. Setidaknya ada tiga jenis penolakan yang disampaikan, yakni tidak ada alasan; masih memerlukan verifikasi antara data kapal di atas kertas dengan kondisi ril; dan belum memiliki kelengkapan dokumen kapal.
“Ketidakterbukaan pemerintah di dalam perizinan kapal perikanan berdampak serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan rakyat. Bahkan sebagiannya sudah menghentikan operasional kapal sejak satu atau dua tahun terakhir. Imbasnya, para ABK menganggur atau beralih profesi,” tambah Halim.
Selain itu, praktek suap-menyuap atau korupsi yang melibatkan oknum birokrasi juga rentan terjadi di dalam pengurusan perizinan kapal perikanan.
Catatan Kiara pada Agustus 2016, dana sebesar Rp5 juta sampai Rp20 juta dikeluarkan oleh pemilik kapal untuk ‘melicinkan’ proses perizinan. Padahal, praktek ini tidak perlu terjadi apabila pelayanan pemerintah mudah, terbuka, dan memakan waktu yang lebih singkat memakai sistem daring.